Iklim, sistem sungai-sungai, lembah-lembah, dataran dan kejadian akibat geologis lainnya sangat erat berhubungan dengan sejarah perturnbuhan dan pembentukan alam sekitarnya. Kodrat alamiah itu biasanya merupakan salah satu faktor ekologis yang penting bagi peranan-peranan sejarah pertumbuhan kependudukan.
Sungai-sungai seperti Ciliwung, Kali Angke, Kali Marunda, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum yang kesemuanya terletak di daerah yang membentuk teluk Jakarta itu jelas akan menarik masyarakatmanusia untuk bertempat tinggal. Hal itu dapat kita saksikan untuk daerah Jakarta dan sekitarnya sejak zaman Neoliticum atau Batu Baru dimana peninggalan-peninggalan berupa alat kapak, beliung, gurdi, bekas gerabah dan lain-lain telah ditemukan dibeberapa tempat di dekat pinggir sungai-sungai tersebut.
Di tempat-tempat lainnya di daerah-daerah agak tinggi letaknya dari dataran kota juga telah ditemukan alat-alat semacam itu. Bukti-bukti lainnya yang menunjukkan adanya perkembangan kependudukan ialah penemuan benda-benda dari perunggu dan besi dari zaman kebudayaan perunggu-besi.
Prasasti Tugu yang menyebutkan bahwa ada dua sungai Candrabaga dan Gomati yang telah digali pada zaman neneknda Purnawarman dan zaman Purnawarman sendiri terang membuktikan bahwa peranan sungai tidak dapat dilepaskan dari kepentingan masyarakat manusia. Penggalian sungai-sungai itu mungkin disebabkan untuk mengurangi banjir, mungkin untuk menambah kemakmuran pertanian, mungkin untuk pelayaran.
Sungai Ciliwung yang bermuara di kota, dahulu merupakan salah satu pusat bandar kerajaan Pajajaran yang disebut “Calapa”. Menurut berita Portugis, ditempat itu terjadi perundingan antara Portugis dengan Sunda untuk masalah perdagangan dan persahabatan. Hal ini berarti Jakarta dahulu menjadi pusat pelayaran dan perdagangan dimana memungkinkan jumlah penduduk akan lebih berkembang.
Orang-orang Belanda yang pertama-tama kali datang ke bandar Kalapa, yang sejak penguasaan Muslim menjadi Jayakarta, menceriterakan bahwa tempat tersebut merupakan kota pelabuhan yang baik karena sungai Ciliwung itu dapat dilayari sampai beberapa km kearah udik, airnya lebih dalam dari pada sungai di Banten. Di sekitar daerah Kota terdapat tanah-tanah yang tergenang air. Kecuali itu dikatakan pula bahwa tempat itu banyak menghasilkan buah-buahan.
Sejak Jakarta dibawah pimpinan Pangeran Jakarta terutama Wijayakrama makin pesatlah kemajuan tempat itu karena merupakan pusat perhatian pelayaran, dan makin menjädi pusat tempat mengadu untung dalam bidang ekonomi perdagangan antar bangsa Indonesia sendiri dan antar bangsa-bangsa asing.
Unsur-unsur Metropolitan yang telah diletakkan sejak Sunda Kelápa, pada masa pemerintahan Pangeran Jakarta menjadi lebih kuat. Hal itu terutama disebabkan persaingannya dengan pelabuhan Banten dan peraturan bea cukai barang-barang lebih rendah dari pada Banten meskipun Jayakarta dianggap merupakan daerah bagian atau daerah takluk dari kesultanan Banten.
Sejak Jakarta direbut Oleh V.O.C. di bawah pimpinan Gubernur General J.P. Coen tanggal 30 Mei 1619 yang kemudian diberi nama baru Batavia maka daerah Jakarta menjadi pusat perkembangan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang mengalami pengaruh Barat terutama V.O.C. Belanda, V.O.C. memang memilih Jakarta sebagaipusat rendezvous pelayaran dan perdagangan mereka.
Karena letak geografisnya yang mempunyai pelabuhan baik, terlindung oleh pulau-pulau dan memudahkan untuk pemusatan barang-barang dagangannya yang akan dibawa ke Eropa dan sebaliknya yang akan dimasukkan keberbagai daerah Indonesia. Sudah tentu selain dilihat dari sagi ekologis geografis, Jakarta juga mempunyai kepentingan strategis.
Banten yang menjadi saingannya ketika itü masih berkembang menjadi kerajaan basar. Tetapi setelah Sultan Ageng Tirtayasa yang dianggap sebagai musuh beşar VOC tunduk dan kekuasaan Banten berada pada Sultan Haji atau Abunassar Abdul Kahar maka Banten surut dalam segi perdagangan, pelayaran dan politik. Sebaliknya Batavia makin berkembang sebagai pusat politik, ekonomi sosial dan budaya dibawah V.O.C. Belanda.
Pembangunan mereka lakukan sudah tentu didasarkan atas kepentingannya, misalnya membuat pusat pemerintahan di kota, perbentengan, gudang-gudang dan sebagainya.
Dalam pembangunan rumah-rumah, gedung pusat pemerintahan lambat laun dişesuaikan dengen iklimnya. Karena bentuk-bentuk rumah seperti di negerinya tidaklah dapat dipaksakan begitu saja.
Bangunan-bangunan menggunakan pintu-pintu dan jendela-jendela besar. Bahkan bangunan-bangunan meraka kelak mendapat pengaruh dari bentuk rumah pangeran-pangeran dengan dibuat serambi-serambi serta halaman-halamannya yang luas.
Dalam hubungan ini maka pesatnya pertumbuhan kependudukan di daerah Jakarta itu lebih besar, disebabkan faktor-faktor perkembangan politik dari pada disebabkan faktor ekologisnya. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 pembangunan bergeser ke arah Tenggara dan timbullah Weltevreden yang disesuaikan dengan faktor lingkungan yang lebih tepat untuk tempat tinggal.