Awal Pemerintahan Kerajaan Indonesia-Hindu sampai Akhir Masa Sunda-Kelapa

Awal Pemerintahan Kerajaan Indonesia-Hindu sampai Akhir Masa Sunda-Kelapa

Sudah dikatatan di atas bahwa dibeberapa tempat di daerah Jakarta sejak zaman Batu-Baru dan Perunggu-Besitelah  terdapat tenda-tanda penempatan penduduk yang kemungkinan besar sudah terhimpun dalam struktur mesyarakat dalam bentuk  perkampungan atau pedesaan dengen struktur permerintahan yang kalau boleh dikatakan bersifat demokrasi.

Dugaan ini secara analogi dengan struktur mesyerekat den pemerintahan suku-suku bangsa di Indonesia sendiri seperti Mentawai, suku-suku di pedalaman Kalimantan dan suku-suku di Kepulauan lainnya yang sama sekali belum atau tidak mendaepat pengaruh-pengaruh kebudayaan Hindu/Buddha, Islam dan Barat.

Struktur Sociel-ekonomi, kultural serta pemerintahan sejak zaman Batu-Baru dan Perunggu-Besi dl Indonesia tentunya termasuk daerh Jakarta, merupakan basis bagi zaman-zaman berikutnya. Zaman-zamen berikutnya yaitu zaman Indonesia mendapat pengaruh kebudayaan Hindu, Islam dan Berat. Dalam hal ini yang akan kita coba gambarkan ketika daerah Jakarta mengalami pengaruh Hindu.

Menurut beberapa hipotesa bahwa Indonesia mulai kedatangan orang-orang India dengan membawa kebudayaannya sejak abad-abad pertama Masehi disebabkan oleh hubungan perdagangan. Pendatang-pendatang orang India itu adalah golongan-golongan pedagang dan pendeta yang mengenalkan kebudayaan mereka.

Perkembangan-perkembangan ini rupa-rupanya tidaklah sepihak melainkan timbul balik. Terjadinya proses akulturasi tidaklah melalui kekerasan tetapi melalui  saling pengertian. Karena itu pula zaman tersebut tidak dapat kita katakan kebudayaan India melainkan Indonesia-Hindu, yaitu kebudayaan Indonesia yang mengandung unsur-unsur kebudayaan India dimana terdapat unsur-unsur Hindu/ Buddha.

Berdasarkan bukti batu bertulis antara lain batu bertulis di kampung Batu Tumbuh di desa Tugu yang terkenal dengen prasasti Tugu yang diperkirakan dari masa pertengahan abad ke-5 Masehi, bukan hanya bukti bagi kedatangan orang-orang India semata-mata, tetapi justru bukti sudah adanya kerajaan yang bercorak Indonesia-Hindu.

Kerajaan yeng disebut pada prasasti Tugu itu ialah Tarumanagara dengan rajanya Purnawarman.  Prasasti-presasti lainnya yang berhubungan dengan isi prasasti Tugu kebanyakan ditemukan di daerah Bogor seperti di Pasir Awi, Kebon Kopi, Ciaruteun, Jambu dan sebuah lagi ada di daerah Banten yaitu di desa Munjul, Kabupaten Labak.

Berîta Cina tentang kedatangan Fahien tahun 414 di Jawa yang diduga pada masa itu di Tarumanegara, dapat pula dipakai untuk menguatkan adanya masyarakat yang bercorak Indonesia-Hindu.

Kerajaan Taruma ini merupakan kerajaan Indonesia-Hindu tertua di Pulau Jawa. Akhir kekuasaan tersebut diperkirakan aalah abad ke-7 Masehi, karana sejak abad tersebut tidak ada berita-berita yang dapat dihubungkan dengan nama rajanya. Bahkan ada dugaan dari seorang sarjana, Ir. J.L. Moens, bahwa keruntuhan Taruma pada akhir abad tersebut disebabkan kekuasaan Sriwijaya. Hal itu didasarkan prasasti Kota Kapur 686 Masehi di pulau Bangka.

Dengan adanya batu-batu bertulis di tempat-tempat tersebut diatas dapat diduga bahwa daerah kekuasaan Purnawarman sudah meliputi daerah-daerah Banten, Bogor, Jakarta, Bekasi dan Citarum.

Prasasti Tugu membuktikan juga bahwa didaerah Tugu terdapat penduduk. Prasasti Tugu antara lain menceritakan tentang penggalian sungai Chandrabhaga oleh nenek Purnawarman, dan ia sendiri pada masa pemerintahannya ke 22 tahun, memerintahkan menggali sungai Gomati melalui Pura atau keraton neneknda sampai ke laut lebih kurang sepanjang 11 Km dalam waktu 21 hari.

Berdasarkan hal itu kita dapat menarik kesimpulan adanya pusat keraton dan pekerjaan raksasa. Pekerjaan raksasa membuat sungai buatan yang panjang dan sesingkat waktu itu jelas memerlukan banyak tenaga manusia.

Demikian pula pembuatan keraton yang menjadi pusat pemerintahan memerlukan tenaga pembangun, dengan berbagai pertukangan apakah mereka asalnya penduduk desa ataukah kota itu sendiri.

Jadi masalah kependudukan dan pembangunan di zaman kerajaan Taruma, khususnya masa pemerintahan Purnawarman sudah lebih konkrit daripada zaman-zaman sebelumnya.

Mengenai keletakan lbukota Tarumanagara dengan keratonnya itu masih belum dapat dipastikan. Dalam hubungan ini Prof. Dr. Poerbatjaraka berdasarkan ilmu bahasa mengirakan keletakan keraton Taruma itu didaerah Bekasi.

Alasannya bahwa sungai Chandrabhaga dalam ucapan orang menjadi Sasihbaga yang lambat laun berubah menjadi Baga Sasih dan akhirnya Bekasi.

Pada waktu karangan ini ditulis suatu Team Lembaga Purbakala, Dinas Museum D.K.I. Dinas Geografi, sedang diadakan penyelidikan dimana letak sungai-sungai dan keratonnya yang dimaksud dalam prasasti Tugu itu.

Dari penggalian kepurbakalaan disekitar tempat prasasti telah diketemukan sejumlah pecahan kreweng pada kedalaman rata-rata 1,20 Masehi. Pecahan-pecahan kreweng tersebut menunjukkan bekas tempayan yang berhiasan cap-cap anyaman. Rempayan di temukan  di Buni. Temuan itu bukan hanya kreweng saja tetapi juga gigi binatang (mungkin lembu ?), batu dari chalcedoon dan batu kalung. Temuan-temuan tersebut mungkin erat hubungannya dengan prasasti dari zaman Purnawarman itu.

Di daerah Bekasi, sejak tahun-tahun yang lalu telah ditemukan alat-alat prasejarah seperti pahat dan kapak batu, pecahan-pecahan periuk. Kecuali benda-benda prasejarah juga terdapat benda-benda yang sudah masuk masa-masa jauh setelah zaman Batu-Baru dan Perunggu-Besi.

Kemudian agak jauh dari Bekasi yaitu dari Cibuaya, Rengasdengklok pada tahun 1952 pernah ditemukan arca Wishnu yang usianya kurang lebih dari abad ke-7 Masehi. Mengingat zamannya jatuh zaman Tarumanagara maka dimungkinkan arca tersebut berasal dari masa itu.

Kecuali itu didaerah Cibuaya banyak bangunan-bangunan batu-bata dalam tanah yang disebut "Lemah Luhur" yang diantaranya pernah dicoba tahun 1962 digali oleh ahli-ahli dari Lembaga Purbakaia. Tetapi bangunan-bangunan itu belum jelas apakah dari masa Tarumanagara atau bukan.

Meskipun demikian semuanya itu mengingatkan kepada kita bahwa disekitar Jakarta terjadi pendudukan oleh masyarakat sudah lebih jelas dari pada sebelumnya. Cisadane mungkin juga merupakan tempat lalu lintas kepedalaman yaitu kedaerah Bogor, dimana ditemukan prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, Muera Cianteun. Tempat-tempat itu semuanya terletak di kecamatan Ciampea.

Di Leuwiliang di Pasir Lutung dan di tempat lainnya dekat Keracak terdapat sejumlah alat-alat zaman Batu-Baru dan Perunggu-Besi. Demikian pula di Pasir Angin yang mungkin dapat diduga sebagai tempat terhimpunnya suatu masyarakat yang pada zaman Purnawarman telah dikuasainya.

Dari isi prasasti Tugu kita dapat ketahui bahwa letak pusat pémerintahan dimana terhimpun banyak penduduknya, berdekatan dengan sungai-sungai.  Bahkan letak perkampungan kuno biasanya juga di tepi-tepi sungai, seperti telah kita katakan pada awal kependudukan zaman Batu-Baru dan Perunggu-Besi.

Bagaimana kependudukan setelah abad ke-7 yang merupakan masa akhir kerajaan Taruma ?.  Sejak akhir Taruma sampai zaman Pajajaran tidaklah kita ketahui dengan pasti bagaimana perkembangan penduduk di daerah Jakarta dan didaerah sekitarnya seperti Bogor, Tanggerang dan lain-lainya. Hal itu disebabkan sangat sedikitnya data-data.

Baru pada abad ke 14 dengan timbulnya pusat kerajaan Pakuan Pajajaran di Bogor dimana daerah Jakarta dan sekitarnya ada dibawah kekuasaannya. Dugaan C.M. Pleyte, Poerbatjaraka, Tendam, bahwa Ibukota kerajaan Pajajaran terletak di Bogor, ditempat yang terapit oleh kedua sungai yaitu Ciliwung dan Cisadane. Batu bertulis di desa Batu-Tulis di Bogor menurut Dr. Poerbatjaraka, sebagai peringatan pendirian pusat keraton Pakuan Pajajaran oleh Cri Baduga Maharaja pada tahun 1255 Caka atau tahun 1333 Masehi.

Sejak Bogor menjadi ibukota Pajajaran diantara tempat-tempat pelabuhan di pesisir Utara Jawa-Barat yang terpenting ialah Sunda-Kalapa. Pelabuhan tersebut terletak di muara sungai Ciliwung, sebuah sungai yang langsung dapat menghubungkan kota pelabuah dengan pusat kerajaan.

Hal itu dapat kita hubungkan dengan berita Portugis tentang perjanjian perdagangan dan persahabatan antara Portugis dengan raja Sunda pada tanggal 21 Agustus 1522. Berita ini diperkuat pula oleh sebuah batu peringatan atau "padrao" yang ditemukan pada tahun 1918 dipinggiran Timur muara Ciliwung, disebelah Utara dari bekas keraton Jayakarta yang pada tahun 1619 terletak diseberangnya.

Menurut Tome Pires, Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang terpenting diantara pelabuhan Banten, Tanggerang, Cimanuk (Indramayu) dan Cirebon.

Pada waktu Tome Pires mendatangi pelabuhan-pelabuhan disepanjang pesisir Utara Jawa antara tahun 1512-1515, dikatakannya bahwa raja Sunda tidak mengizinkan orang-orang muslim memasuki daerahnya kecuali beberapa orang.Dikatakan bahwa pelabuhan Cimanuk dan Cirebon sudah dimasuki banyak pedagang muslim.

Ketakutan raja Sunda mengizinkan banyak pedagang Muslim memasuki kerajaannya ialah karena pedagang-pedagang Muslim lihay. Demikianlah maka pelabuhan Sunda Kelapa pada waktu itu belum banyak didatangi orang Islam. Tetapi meskipun demikian jumlah penduduknya sudah tentu berkembang, mengingat kota tersebut sudah merupakan kota bandar yang bersifat internasional.

Bagaimana pemerintahan di Sunda-Kelapa dan sekitarnya zaman Pajajaran, bagi kita sudah jelas bercorak kerajaan. Struktur birokrasi kerajaan pada masa itu sekurang-kurangnya dapat kita gambarkan berdasarkan berita-berita pada Babad-Babad. Misalnya Babad Banten, Babad Pajajaran, Purwaka Caruban Nagari, Babad Cerbon, Cerita Parahyangan.

Kecuali sumber-sumber tersebut juga berita-berita Portugis sedikit dapat memberi keterangan Tome Pires menceritakan bahwa barang-barang dagangan dari seluruh kerajaan diangkut ke pelabuhan Sunda Kelapa  pelabuhan benar-benar mempunyai pemerintahan dimana terdapat hukum-hukum, pengadilan, klerek klerek yang semuanya mengikuti hukum-hukum yang telah ditentukan oleh kerajaan.

Mengenai susunan pemerintahan kerajaan Sunda, Tome Pires mengatakan bahwa di dalam negeri Sunda, setelah raja Sunda yang disebut Sang Briang dan wakilnya yang disebut namanya Cocunan; setelahnya baru Bendahara yang dijuluki Maco bumy, penguasa-penguasa kota-kota dan tempat-tempat pelabuhan-pelabuhan.

Mengenai ketentaraan diceritakan oleh Tome Pires bahwa kerajaan Sunda mempunyai angkatan darat dan laut. Mereka mempunyai perawakan yang baik-baik dan tegap-tegap. Apa yang diberitakan oleh Tome Pires sesuai pula dengan berita De Barros tersebut diatas yang menceriterakan tentang adanya 100.000 tentara.

De Barros menceriterakan hal-hal yang boleh dikatakan hampir bersamaan dengan Tome Pires. Kedua orang Portugis itu mengatakan bahwa tahta kerajaan bersifat turun temurun dari ayah ke putranya yang laki-laki.

Dalam perjanjian dagang dan pendirian benteng Portugis dengan raja Sarniam April 1522 dikatakan bahwa pihak kerajaan Sunda diwakili antara lain oleh Mandari Tamungo Sanque de Pate dan Bengar, Syah-bandar.

Yang dimaksud oleh berita portugis dengan perkataan mandarin ialah mantri, Tamungo ialah Tumenggung dan dua mentri lainnya Sam (Sang Adipati) dan Bengar. Syahbandar yang disebut pula Fabyarn. Disamping itu ada pula pejabat pejabat lainnya yang penting.

Dari prasasti tembaga Kebantenan-Bekasi, kita dapat mengetahui adanya para muhara yang dapat disamakan dengan pejabat-pabean.

Dari berita-berita asing itu ada beberapa hal yang sesuai dengan apa yang terdapat Babad-Babad, sebagaimana ternyata dalam sumber Siksa Kanda Karesian,  telah menggambarkan sedikit sistim pemerintahan pada zaman Pajajaran itu. Hierarki Pemerintahan dari mulai Ratu tunduk pada Dewata, Dewata tunduk pada Hyang.

Dari susunan itu dapat kita ketahui bahwa Raja digolongkan dengan Dewata dan Hyang diatasnya. Dalam hal ini mungkin sekali Raja digambarkan sebagai tokoh yang mewakili Dewata dan Hyang, di dunia karena itu pula maka tidak mengherankan apabila raja sendiri di dewa kan.

Anggapan demikian telah kita ketahui pada zaman Tarumanegara,  dimana kaki Purnawarman juga disamakan dengan dewa Wishnu, kaki gajahnya disamakan dengan Airawata.

Raja-raja di Jawa Tengah dan Jawa Timur pun dari abad ke 8 sampai abad 15 M. didewakan, sehingga setelah raja meninggal, mereka dipuja dan dipatungkan sebagai dewa-raja.

Tanggapan demikian di Asia Tenggara agaknya umum dalam  sejarahnya, misalnya di Kamboja, Siam, Birma, Campa. Di atas ini adalah gambaran hierarki dari raja keatas maupun Dewata dan Hyang. Bagaimana hierarki dari raja kebawah dikatakan berturut-turut dari raja kepada mentri dan wado. Selanjut nya kita mengenal pula hal ketentaraan seperti diberitakan oleh orang-orang Portugis.

Dari Siksa Kanda Keresian kita mengenal beberapa macam siasat peperangan, seperti makarabihwa, lisang bihwa, cakra bihwa, suci muka, Luwak maturun dan lain-lain.  Masalah ketentaraan ini mungkin membuktikan adanya kekuasaan dan ketentaraan beserta siasatnya. Demikian juga zaman Pajajaran itu terdapat para pujangga, puhawang (nakhoda-nakhoda), juru bahasa, darma murcaya, tukang-tukang batik, para dalang, para pendeta/resi.

Bagaimana pengangkatan pejabat-pejabat tersebut diatas tidak dapat diketahui dengan pasti. Karena data-datanya tidak cukup. Namun demikian biasanya dalam suatu kerajaan tradisional kriteria-kriteria untuk pengangkatan pejabat-pejabat kerajaan berdasarkan penunjukan raja.

Hal itu disebabkan yang diangkat ini menunjukkan kepandaian-kepandaian baik dalam kegaiban maupun dalam kelahiriahan atau telah banyak menunjukan jasa-jasa bagi raja atau kerajaannya. Pengangkatan pejabat-pejabat utama, raja-raja yang menguasai daerah-daerah berdasarkan hubungan kekeluargaan, dapat kita ambil contoh pada gambaran Hikayat, Sejarah, Riwayat.

Takhta kerajaan biasanya diberikan dari ayah kepada anak atau keturunannya yang syah. Sebagaimana telah kita ketahui Tome Pires menceriterakan kepada kita bahwa putra raja (Sunda) menerima warisan kerajaan, tetapi apabila raja tidak mempunyai keturunan maka dilakukan pemilihan salah seorang bangsawan dari kerajaan itu.

Pengangkatan pejabat-pejabat seperti Senapati, Mangkubumi, Syahbandar dan lain-lainnya jelas akan didasarkan kepada hubungan ke Bapa-an atau kerabatan atau clientship. Kebiasaan-kebiasaan ini dilanjutkan kepada zaman berikutnya meskipun kelak dengan sebutan atau istilah-istilah yang mendapat pengaruh Islam.

Topik Terkait

Sejarah NusantaraBataviaArkeologiPendidikan

Topik Lanjutan