Penetrasi kebudayaan Hindu yang berasal dari India Selatan dan masuk melalui suatu kota pelabuhan yang dulu mungkin merupakan salah satu kota dagang tertua, terbesar dan paling internasional dibandingkan dengan kota-kota pelabuhan manapun di Kepulauan Nusantara ini seolah-olah terlupakan.
Apalagi sejak munculnya kebudayaan Hindu – Jawa, dan setelah Coedes dan Ferrand menulis buku mereka masing-masing (Le Royaume, de Criwijaya, dan L’Empire Sumatranais de Criwijaya), perhatian sebagian besar peneliti ditujukan pada daerah Jambi dan Palembang.
Padahal kota pelabuhan ini mungkin memiliki arti yang sangat penting. Kota pelabuhan yang dimaksud ialah Kota Barus.
Batu atau “banda bapahek” dekat Suroaso, merupakan saluran air dari zaman Hindu, dibuat dalam sebuah bukit batu. Pada dinding saluran ini juga didapat tulisan. Tetapi tidak seperti prasasti-prasasti lainnya, tulisan pada “banda bapahek” dibuat dalam 2 bahasa. Di sebelah kiri, 10 baris dipahat dengan bahasa Sanskerta seperti pada banyak inskripsi Adityawarman sedangkan di sebelah kanan sebanyak 13 baris, dalam tulisan yang belum ditemukan sebelumnya di Minangkabau Footnote 1
Seorang epigraf terkenal dari India bernama Krishna Sastri menemukan bahwa tulisan yang di sebelah kanan itu berasal dari India Selatan. Hampir seluruh prasasti yang didapat di Sumatera Tengah hingga waktu itu, memakai bahasa berasal dari bagian utara anak benua India. Dipandang dari sudut ini saja, penemuan di “banda bapahek” tadi merupakan sesuatu yang istimewa karena kedua tulisan tersebut memiliki arti yang sama Footnote 2. Yakni menceritakan mengenai pengumuman sang Raja (Sri Surawasa) Adityawarman kepada rakyatnya.
Sebuah pengumuman raja yang ditulis dalam 2 bahasa, ini tentu saja menandakan bahwa di antara rakyatnya terdapat suatu kelompok besar yang mempunyai bahasa sendiri. Sudah dapat dipastikan bahwa mereka ini ialah sebuah bangsa dari India Selatan yaitu Tamil. Seperti yang akan dikemukan kemudian dibawah ini bahwa pengaruh Tamil di Sumatera Tengah dan Utara besar sekali, masih dirasakan sampai sekarang.
Kota Barus ini segera membawa ingatan kita pada kapur barus (kamfer dalam bahasa Belandanya, mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab). Begitu pula kemenyan (beruoe dalam bahasa Belanda) mungkin dari kata Arab (lu) ban-jawi atau kemenyan Sumatera Footnote 3.
Kapur barus dan kemenyan tersebut sudah lama sekali diekspor dari Barus disamping hasil-hasil lainnya seperti emas, gading dan culabadak. Tetapi kapur barus yang paling penting, sebab komoditi inilah yang membuat Kota Barus begitu terkenal di dunia waktu itu. Kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain. (Marco Polo pernah menyebut, harga kapur barus seperti emas dengan berat yang sama!). Bayangkan bagaimana majunya sebuah daerah yang memegang monopoli suatu komoditas (kapur barus dan kemenyan) yang sangat dicari “dunia maju” tempo dulu baik di Asia maupun Afrika bagian utara dan mungkin di Yunani Referensi A.
Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi Footnote 4. Karena begitu pentingnya kota Barus ini, maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama baros, balus, pansur, fansur, pansuri (dari Desa Pansur sedikit di utara Barus), kalasaputra (dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang), karpura-dwipa, barusai (oleh Ptolomeus dari Alexandria sekitar awal tahun Masehi Referensi D, waru-saka dan lain-lain. Prof. Kern sendiri pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke 7 tidak lain dari Barus Footnote 5.
Begitu pula Kerajaan “Ho-lo-tan” dalam tulisan-tulisan Cina Referensi B, mungkin dimaksud Kalasan. Sebuah berita asal Arab dari Syaihkh Abu Salih al-Armini menyebut bahwa sudah semenjak abad ke 7 di Fansur atau Barus telah bermukim sekelompok orang beragama Kristen Footnote 6.
Berita ini dan ditambah lagi dengan fakta bahwa nama Barusai telah dikenal semenjak kira-kira awal tahun Masehi (karena kapur barus dan pernah disebut oleh Ptolomeus), serta dugaan-dugaan hubungan Barus dengan Kerajaan Sriwijaya purba, menimbulkan praduga di kalangan para ahli bahwa mungkin semenjak abad ke 6 atau 7, telah ada sebuah kerajaan di daerah tersebut.
Jadi jelas sudah pentingnya Barus di zaman dulu. Kita dapat membayangkan betapa makmurnya kota Barus ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Tetapi siapakah kaum pedagang itu? Sudah dapat dipastikan bahwa yang mengekspor kapur barus bukan swasta nasional atau pribumi asli tetapi pedagang asal India Selatan yakni bangsa Tamil.
Ini bukan berarti tidak ada bangsa lain yang pernah datang berdagang ke Barus. Tetapi kelihatannya khusus mengenai kapur barus, monopoli dipegang bangsa Tamil tadi. Mereka membentuk semacam oligopoli agar harga kapur barus ini tetap tinggi. Selain itu, bangsa Tamil juga banyak bergaul dengan rakyat setempat dan memasukkan kebudayaan yang dibawa dari India Selatan, makin lama makin melebar ke pedalaman. Akhirnya sampai ke Danau Toba, ada sebuah dugaan mungkin malah melewati danau itu ke daerah pegunungan di Sumatera Timur. Kita tidak tahu dengan pasti, mungkin juga ke selatan dan ke arah tenggara.
Seorang bekas kontrolir Belanda bernama Deutz, sewaktu bertugas di Barus Footnote 7 menulis bahwa menurut rakyat setempat di Lobutua (sedikit timur laut Pansur) pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu dalam tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut.
Tiga buah peci misalnya yang berasal dari sebuah tiang batu segi enam yang mulus, setinggi lebih kurang 83 cm, besar antara 22 dan 25 cm dengan tulisan pada tiga sisinya. Ada lagi pecahan-pecahan berbentuk prasasti, ditulis pada 2 bagian, yang mungkin dipecahkan Mara Pangkat, Raja Barus dahulu. Selain itu, kontrolir Deutz juga menemukan bermacam peninggalan kuno berupa perhiasan emas dan perak, berbagai bentuk kerajinan tangan dari tanah, mata uang dan lain-lain. Atas petunjuk rakyat, dia juga pernah mengunjungi tempat-tempat di mana dahulu bangsa Tamil pernah bermukim Footnote 8.
Seorang epigraf Pemerintah Inggris di India bernama Hultzsch, akhir abad yang lalu menterjemahkan batu Lobutua itu Footnote 9 yang dibuat tahun 1088 Referensi C
Selain itu dikatakan pula bahwa bangsa Tamil yang bermukim di Barus bersatu dalam sebuah usaha dagang bernama “kelompok 500”. Baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan oleh Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras Footnote 10.
Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit semenjak abad ke 11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan, terkenal dengan nama “kelompok 500” yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa disekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat (terpenting tentu saja kapur barus) untuk diekspor ke luar negeri Referensi D.
Bahasa Tamil sendiri merupakan salah satu bahasa terpenting dari kurang-lebih 21 bahasa Drawidia, dipergunakan di daerah paling selatan anak benua India dengan Kota Madras sebagai pusatnya, di negara bagian Tamil Nadu. Disamping Tamil, beberapa bahasa lainnya yang juga termasuk keluarga bahasa Drawidia ialah Malayalam di Kerala, Kannada di Mysore, dan Telugu di Andra Pradesh. Karena daerah yang berbahasa Tamil itu terletak paling Selatan Footnote 12 maka banyak ahli menganggap bahasa itu paling “murni” kurang dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Indo – Arya yang datang dari Utara.
Selain itu, bahasa Tamil dianggap tertua dan terpenting dipandang dari sudut kesusastraan. Dahulu di sana terdapat kerajaan-kerajaan besar dan kuat dibawah keluarga-keluarga terkenal seperti Pandya, Chola dan Pallawa.
Prasasti Lobutua dalam bahasa Tamil, menunjukkan bahwa bangsa itu datang langsung dari negaranya ke kota Barus dipantai barat Sumatera untuk berdagang dan juga karena jarak antara ujung selatan India dengan pantai barat Sumatera itu, relatif tidak begitu jauh. Sedangkan hampir semua prasasti Hindu-Jawa sesudah abad ke-8, dipahat dalam bahasa Kawi atau Nagari Footnote 11.
Pengaruh bahasa Tamil ini di tanah Batak, menurut sebuah teori meluas ke pedalaman sampai ke Danau Toba malah mungkin ke Sumatera Timur. Menurut banyak ahli, bahasa Batak tidak saja mengandung pengaruh bahasa Tamil tadi, tetapi tidak sedikit pula mendapat pengaruh bahasa Sanskerta dari India bagian utara.
Kontrolir Deutz juga mendengar tentang orang chetti Footnote 13 dari rakyat setempat. Mereka ini ialah bangsa asing yang kemudian bergaul dengan penduduk seperti orang-orang Minang, Melayu dan Batak. Para pendatang itu berintegrasi dengan rakyat di sana, kebudayaan yang mereka bawa ikut pula memperkaya kebudayaan setempat. Bahasa mereka lambat laun diambil dan banyak kata-kata Tamil hingga hari ini masih dipakai di Sumatera Tengah (Minangkabau, Tapanuli sampai sebagian dari Sumatra Timur).
Menurut seorang ahli bahasa bernama Prof. Van Ronkel, kata-kata seperti gudang, kuli, suasa, kodi, kolam, peti, niaga, bedil dan tembaga, berasal dari bahasa Tamil Footnote 14. Begitu juga kata-kata yang dipakai sehari-hari seperti marapulai, kuli, pualam, cemeti, jodoh, gundu, badai, kolam, belenggu, dahaga, kanji, mahligai maupun nama kue-kue lezat khas Minang seperti talam, onde-onde, apam dan serabi. Melihat jenis kata-kata itu dapat kita simpulkan bahwa, pertama pengaruh mereka memang besar dan kedua, bahwa bangsa Tamil itu merupakan pedagang.
Beberapa ahli berpendapat bahwa orang Batak Karo (istimewa marga besar Sembiring), dianggap sebagai keturunan Tamil yang hingga sekarang paling banyak memperlihatkan pengaruh kebudayaan dari India Selatan itu. Banyak nama marga atau sub-marga rumpun Sembiring seperti Pandia, Meliala dan Cholia, berasal dari bahasa Tamil itu. Begitu juga dengan rumpun Borbor, di daerah Toba atau Dairi Footnote 15. Membakar mayat dan menghanyutkan sebagian dari tulang-tulang di sungai umpamanya, menurut Joustra Footnote 16 adalah kebiasaan marga Sembiring berasal dari bangsa Tamil. Dalam cerita-cerita mitologi Batak, beberapa kebiasaan dan adat Batak, kalender mereka, malah permainan catur, dianggap berasal dari kebudayaan yang samaFootnote 17.
Hal ini mungkin dapat menjelaskan pengaruh dan perkembangan kebudayaan asal India Selatan, di daerah Batak baik di Tapanuli maupun di Sumatera Timur. Tetapi pengaruh kebudayaan ini (terutama bahasanya) melebar sampai di Minangkabau dan beberapa daerah dibagian tengah Pulau Sumatera. “Banda bapahek” ialah bukti mengenai pengaruh ini di Minangkabau.
Apakah pengaruh kebudayaan India selatan sampai di Minangkabau berasal dari daerah Batak melalui Minang-Mandailing ataukah berasal dari Kota Barus? Atau mungkin juga kebudayaan Tamil itu masuk ke Alam Minangkabau dari suatu tempat lain. Seperti dari pantai Sumatera Barat misalnya, jauh sebelum kedatangan kebudayaan Hindu-Jawa. Sampai sekarang belum ada keterangan-keterangan pasti karena kurangnya bukti-bukti sejarah dan banyaknya prasasti-prasati pada zaman itu yang ditemukan oleh para ahli Belanda dan belum dibaca hingga kini.
Ini sangat disayangkan karena persoalan pengaruh kebudayaan Tamil itu, cukup penting. Kalau tidak, apa perlunya pengumuman Raja Minangkabau khusus dibuat dalam dua bahasa. Untuk menyelidiki sejarah kuno itu, kita tidak bisa lagi mengandalkan pada karya sarjana-sarjana bangsa asing, harus dilakukan oleh putra-putra daerah. Ini adalah pekerjaan sulit, memerlukan ketekunan, dedikasi dan dukungan penuh dari pemerintah.
Kalau pengaruh kebudayaan Tamil itu di daerah Batak datang dari Barus, ini bisa dimengerti karena sudah dapat dipastikan tentang adanya koloni bangsa asal India Selatan di kota Barus tersebut. Tetapi bagaimana mengenai marga Sembiring tadi yang (menurut beberapa ahli) memperlihatkan ciri-ciri khas kebudayaan Tamil, tetapi bermukim di daerah pegunungan sebelah timur Danau Toba? Apakah mungkin mereka ini juga berasal dari pantai barat (Barus) ataukah dari pantai timur Sumatera? Kebanyakan yang kita baca mengenai kedatangan pengaruh Hindu, ialah dari bagian timur, karena itu perhatian selalu dipusatkan ke sana. Kita sama sekali belum yakin, persoalan Sembiring itu juga berasal dari sana. (Joustra menamakannya “teka-teki Sembiring”!).
Pengaruh kebudayaan Hindu dari India Selatan ini di Minangkabau jauh lebih tua dari pengaruh Hindu – Jawa dan kemungkinan kecil berasal dari utara (Batak), mungkin ada tempat-tempat lain di pantai barat Sumatra, dimana mereka masuk ke pusat Minangkabau. Sayang penyelidikan ke arah ini tidak banyak atau belum dijalankan oleh para ahli. Pengaruh mereka inilah yang jauh lebih tertanam dalam masyarakat Minangkabau dari pada pengaruh Hindu – Jawa yang praktis tidak berbekas sama sekali.
Bagaimana tentang pengaruh Hindu bukan Tamil yang menurut beberapa sarjana seperti Van der Tuuk, Joustra dan Van Ronkel, juga mempengaruhi kebudayaan Batak? Memang ada teori diantaranya dari Bosch, yang mengatakan pengaruh itu mungkin datang ke sana dari selatan (Minangkabau), paling sedikit ke Mandailing Footnote 18.
Apakah tidak mungkin setelah Kota Barus menjadi pelabuhan penting dan terjadi hubungan dagang yang erat sekali dengan India, juga ikut datang ke sana orang-orang India asal Indo Aryan dari kasta Brahmana umpamanya, guna mengembangkan agama mereka seperti di Pulau Jawa?
Karena belum banyak diketahui kota-kota pantai asal penetrasi kebudayaan Hindu, belum berarti kita dapat memastikan semua aliran ini datang dari bagian timur atau dibawa dari Pulau Jawa. Hal ini mengingatkan kita kembali pada peringatan Prof Veth kira-kira 1 abad yang lalu. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu selalu memikirkan bahwa arus pengaruh kebudayaan Hindu itu harus datang dari Pulau Jawa Footnote 19.
Reference:
Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Bab I bagian 4, Kota Barus dan Kebudayaan Asal India Selatan, 1981, Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Harapan.
Referensi A:
Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares) Lihat juga: Travel of Marco Polo Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa
Referensi B:
Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)
Referensi C:
Pedagang dari Arab mungkin telah berdagang ke kota Barus pada sejak abad ke 8 Masehi. Pada situs Lobu Tua ini ditemukan gelas dan keramik abad ke 9 Masehi serta yang paling penting adalah cap yang kemungkinan berasal dari Iran dengan tulisan Allah dan Muhammad. Selain itu ditemukan juga keramik yang berasal dari China pada abad yang sama. (Claude Guillot and Sonny Ch. Wibisono, “Le verre à Lobu Tua: Étude préliminaire” in Guillot (ed.) Histoire de Barus I, pp. 189-206; dan Guillot (ed.), Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua, II , Chapter V – Céramique du Proche-Orient”, pp. 171-196.) Lihat juga: Ludvik Kalus, “Le plus ancienne inscription islamique du monde malais?” Archipel, Vol. 59 (2000), pp. 23-24.
Referensi D:
Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)
Dua peristiwa penting yang mempengaruhi Umat Islam di Asia Tenggara terjadi pada abad ke 10 dan abad ke 11. Salah satunya adalah serangan Raja Cola, Rajendra I yang ingin menguasai perdagangan di selat Malaka yang terjadi pada tahun 1017 dan 1025. Serangan ini membuat perubahan pola perdagangan dari Timur Tengah ke Sumatera dan munculnya perusahaan dagang Tamil yang menguasai Barus yang terdiri dari sekitar 1500 orang Tamil, pemukiman di Barus ini ditinggalkan pada abad ke 12 Masehi dengan alasan yang tidak diketahui.
(Y. Subbarayalu. “The Tamil Merchant-Guild inscription at Barus: A Rediscovery” in Guillot (ed.) Histoire de Barus I, pp. 25-33. The inscription is dated to the equivalent of 1088 C.E.). Lihat juga: Kozok, Uli: Prehistory. In: Sibeth, Achim: The Batak. Peoples of the Island of Sumatra. London: Thames and Hudson 1991:13-16.
Catatan Kaki:
- Footnote 1 : Notulen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1911, halaman 128
- Footnote 2 : Hindoe-Javaansche, Prof. N.J. Krom, Den Haag tahun 1962, halaman 410
- Footnote 3 : Encyclopdeia van Nederlandsch Indie
- Footnote 4 : Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans
- Footnote 5 : Verspreide Geschriften No VI, halaman 15
- Footnote 6 : The ancient Kingdom of Panai and the ruins of Padanglaweh (North Sumatera) oleh Rumbi Mulia dalam BPPAN, Jakarta 1980
- Footnote 7 : Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875
- Footnote 8 : Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah mengadakan survey didaerah Barus dibawah pimpinan H.M. Ambary pada bulan Mei 1978. Hal yang menarik ialah ditemukannya sebuah batu nisan di desa Batubadan yang merupakan batu nisan tertua yang pernah ditemukan di Pulau Sumatera, yakni tahun 1206, 90 tahun lebih tua dari makan Malik as Shalah di Aceh.
- Footnote 9 : Notulen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1892, halaman 80
- Footnote 10 : A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932
- Footnote 11 : Hindoe-Javaansche Geschiedenis oleh Prof. Krom halaman 304
- Footnote 12 : Bahasa di India berasal dari 2 keluarga bahasa yaitu: Indo-Aria dan Drawidia. Indo-Aria terkenal dengan bahasa sansekerta yang dipakai di India utara, tengah dan barat utara. Terpenting dari bahasa Indo-Aria adalah Benggali, Marathi, Hindi, Gujarati. Keluarga Drawidia lebih tua dan dipakai sebelum kedatangan bangsa Indo-Arya dan memiliki kebudayaan yang tinggi dilembah sungai Indus (Kebudayaan Harappa) yang terkenal seperti Mahenjo Daro.
- Footnote 13 : Perkataan Sati (Sakti) dalam kosa kata Minang mungkin berasal dari kata ini, lebih lanjut baca: Opstellen over Minangkabau oleh Westenenck ( Koloniale Studien No. VI tahun 1922. De Chetti en Zijn Bedriff oleh S.J. Schoorl ( Koloniale Studien tahun 1926) yang membahas mengenai kegiatan orang Chetti di Sumatera Timur.
- Footnote 14 : Het Tamil Element in Het Maleisch oleh Von Ronkel (Tijdschr No 45 tahun 1902)
- Footnote 15 : Oudheidkundig Verslag van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh Stein Callenfels tahun 1920 halaman 73
- Footnote 16 : Meededeelingen Omtrent en Opmerkingen naar Aanleiding v.h. Pek Oewaloeh of het Doodenfeest der Marga Sembiring (Keterangan tentang dan catatan terhadap pek Uwalah atau pesta mati Marga Sembiring). Tijdschr. No. 45 tahun 1902
- Footnote 17 : Hindoe Invloed in Noordelijk Batak-land oleh J. Tideman (A’dam 1936). Karo Bataksche Offerplaatsen oleh J.H. Neumann (Bijdrage van het Koninklijk Instituut tot Taal-, Land en Volkenkunde No 83 tahun 1927 halaman 514). Aanteekeningen Omtrent de Godsdienstige Begrippen der Karo Bataks oleh C.J. Westenberg (Bijdr No 41 tahun 1892).
- Footnote 18 : Laporan Perjalanan Melintas Sumatra oleh F.D.K. Bosch (Oudheidkundig Verslag van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1930)
- Footnote 19 : Tjidschrift voor/van Nederlandsch Indie tahun 1889 Jilid 1