Bunyinya nyaring saat digigit. Kriuk kriuk kriuk.. Rasa gurih asin langsung bikin lidah jejingkrakan. Nyanyian kriuk kerupuk bersenandung dari Sabang sampai Merauke. Siapa pula yang tak suka kerupuk? Konon, bagi warga Indonesia, makan rasanya tak lengkap jika tanpa kerupuk.
Kerupuk tersedia hampir di setiap meja makan, warung makan, hingga restoran mewah sekali pun. Seolah-olah ‘haram’ hukumnya makan tanpa kerupuk.
Tak ada yang tahu pasti mengapa kerupuk tak bisa lepas dari kebiasaan makan orang Indonesia. Namun yang jelas, meski tak ada catatan historis pasti, kebiasaan ini dipercaya telah eksis di tengah masyarakat sejak lama.
Di masa kolonial, misalnya, kebiasaan makan kerupuk warga pribumi telah ditangkap oleh orang Belanda. Artinya, kebiasaan makan kerupuk telah ada bahkan sebelum Belanda datang menjajah.
“Mereka [orang Belanda] melihat kerupuk ini sebagai pelengkap. Enggak ada kerupuk, [makan jadi] enggak lengkap,” ujar sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, awal Agustus lalu.
Tangkapan ini diejawantahkan orang Belanda dengan memasukkan kerupuk sebagai salah satu menu pelengkap dalam konsep rijsttafel, bersamaan dengan sambal. Rijsttafel merupakan cara penyajian makanan secara berurutan ala Eropa yang menghadirkan nasi bersamaan dengan lauk-pauk di atas meja.
Bermula Dari Kerupuk Singkong
Kehadiran industri kerupuk tak bisa lepas dari singkong sebagai salah satu komoditas terbesar di Indonesia sejak lama. Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu negara penghasil singkong terbesar di dunia. Berlimpahnya singkong di Nusantara ditengarai memicu kreativitas masyarakat untuk mengolahnya. Salah satunya, mengolah singkong menjadi kerupuk.
Dari bahannya saja, kerupuk dibuat dari tepung tapioka atau aci. Tepung tapioka yang terbuat dari singkong itu dicampur dengan aneka bahan lainnya hingga menjadi kerupuk bercita rasa gurih asin.
Singkong, atau yang disebut juga sebagai ketela, dikenalkan oleh bangsa Portugis pada sekitar abad ke-15 dan 16. Umbi-umbian satu ini sejatinya berasal dari wilayah Amerika Selatan.
“Portugis memang banyak mempengaruhi kekayaan hayati Nusantara,” ujar sejarawan pangan sekaligus penulis Andreas Maryoto
Kerupuk sendiri ditengarai hadir seiringan dengan melimpahnya produksi singkong pada dan pasca-era cultuurstelsel atau tanam paksa yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada era itu, setiap desa diwajibkan menyisihkan sebagian lahannya untuk ditanami komoditas yang dinilai menguntungkan seperti teh, kina, kopi, dan kakao.
Situasi ini membuat akses terhadap padi jadi terbatas. Pasalnya, sebagian besar lahan digunakan untuk tanaman yang dinilai lebih cuan.
Tak ayal, masyarakat pun hanya bisa menanam singkong untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah Hindia Belanda sendiri telah mengimbau pribumi untuk menanam singkong sebagai solusi di masa paceklik.
Tak dinyana, lanjut Andreas, produksi singkong justru berlimpah di era yang sama. Hal ini pun membuat masyarakat menguji kreativitas untuk mengolah hasil panen singkong yang berlimpah itu.
“Dalam konteks itu, mungkin yang terjadi adalah orang makin familiar dengan singkong. Mereka mulai bikin [olahan pangan berbasis singkong] beraneka ragam,” kata Andreas.
Fadly menambahkan bahwa surplus singkong kala itu direspons dengan pembangunan pabrik tapioka. Di pabrik ini, singkong disulap jadi tepung yang bisa diolah jadi berbagai pangan, salah satunya kerupuk.
Jawa Barat kala itu menjadi salah satu wilayah penghasil singkong terbesar. Hal ini diperkuat dengan adanya jalur kereta di Jawa Barat yang dibangun karena adanya kebun singkong. Kondisi yang sama dengan jalur kereta penghubung Semarang, Solo, dan Yogyakarta yang dibangun karena kebun tebu.
Dari sana, beragam olahan dari tepung tapioka pun bermunculan di wilayah Jawa Barat, salah satunya kerupuk aci yang kerap juga disebut sebagai kerupuk blek. Kerupuk ini kini mudah dijumpai di berbagai sudut tempat makan.
“Kerupuk aci ini memang sesuatu yang fenomenal pada masa awal abad ke-20, seiring surplus tepung tapioka,” ujar Fadly.
Di Bandung, beberapa catatan menyebutkan sosok bernama Sahidin dan Sukarna. Keduanya dikenal sebagai pengusaha asal Tasikmalaya dan Ciamis yang memulai usaha kerupuk sejak 1930-an. Kini, kedua nama tersebut dijadikan nama gang di kawasan Kopo, Bandung.
Konon, masing-masing pegawai di pabrik kerupuk milik Sahidin dan Sukarna menyebar ke berbagai daerah dan kini menjalankan pabrik kerupuknya masing-masing. Kedua sosok tersebut memicu hipotesis yang menyebutkan bahwa Ciamis menjadi cikal bakal kerupuk modern di Indonesia.
Meski belum ditemukan bukti yang kuat, Fadly tak menampik bahwa Ciamis memang menjadi salah satu wilayah yang diperhitungkan sebagai produsen kerupuk. Ciamis juga tercatat memiliki banyak sentra kerupuk.
Pada era kolonial, lanjut Fadly, penjual kerupuk memiliki ciri khas membawa kaleng blek besar, ditandu, dan dibawa berkeliling. Kerupuk dari Ciamis pun didistribusikan ke Bandung, kemudian ke Batavia atau Jakarta.
“Suatu hal yang fenomenal yang kemudian jadi memunculkan ciri khas kerupuk Ciamis ini terkenal,” ujar Fadly.
Seiring berjalannya waktu, varian kerupuk yang lain pun bermunculan. Tapioka tak lagi jadi satu-satunya bahan utama, melainkan disandingkan dengan beragam bahan lain seperti ikan.
Palembang di Sumatera Selatan, misalnya, memiliki kerupuk kemplang sebagai salah satu kudapan khasnya. Kerupuk ini terbuat dari tepung tapioka yang dicampur dengan ikan tenggiri. Kerupuk berbahan yang sama juga dikenal di Samarinda, Kalimantan Timur dengan nama amplang.
Ada juga kerupuk udang yang konon berasal dari Sidoardjo, Jawa Timur. Kerupuk ini dibuat dengan mencampurkan bahan tepung tapioka dengan udang. Dan masih banyak lagi jenis kerupuk yang ada di Indonesia.
Keberagaman tersebut membuat Indonesia disebut-sebut sebagai ‘surga’-nya kerupuk. Tak main-main, Indonesia bahkan telah mengekspor kerupuk, keripik, dan makanan sejenis lainnya ke berbagai negara. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor kerupuk dan camilan sejenisnya mencapai US$37,77 juta pada tahun 2023.
Korea Selatan menjadi negara tujuan utama ekspor kerupuk Indonesia senilai US$11,37 juta. Disusul oleh Belanda (US$8,18 juta) dan China (US$5,13 juta).
Menelusuri Proses Pembuatan Kerupuk DI Naskah Kuno
Dari semua jenis kerupuk, tak ada yang bisa mengalahkan rambak si ‘leluhur’ kerupuk. Rambak dipercaya sebagai kerupuk paling autentik yang dimiliki Nusantara.
Rambak adalah kerupuk yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau. Di zaman kiwari, rambak dipercaya mirip dengan kerupuk kulit yang biasa dijadikan bahan sajian kerecek. Ada juga yang menyamakan rambak dengan kerupuk kulit yang dikenal dengan nama jangek di Sumatera atau dorokdok di tengah masyarakat Sunda. Alasannya, karena sama-sama berbahan kulit sapi.
Meski tak tercatat secara eksplisit, namun kerupuk kulit ini dipercaya muncul dalam berbagai naskah kuno dan prasasti berabad-abad silam. Hal ini membuktikan bahwa kerupuk telah dikenal jauh sejak lama.
Naskah kuno Kakawin Sumanasantaka dari abad ke-13 mencantumkan kerupuk di antara makanan yang diperdagangkan kala itu. Kata kerupuk, menurut Fadly, bersanding dengan makanan lain seperti aneka nasi, kudapan, dan minuman.
“Kakawin Sumanasantaka menyebut kerupuk dan berbagai makanan yang dijual di [era] Jawa kuno,” ujar Fadly.
Catatan lain juga menyebutkan kerupuk muncul di Prasasti Watukura pada abad ke-10 atau tahun 902 M, kala Raja Dyah Balitung memimpin Kerajaan Medang Mataram Kuno. Pada sumber lain, kerupuk juga disebut tercatat dalam Prasasti Taji di era yang sama pada tahun 901 M.
Dalam sumber-sumber tertulis ini, kerupuk digambarkan sebagai pangan berbahan baku kulit hewan, baik itu sapi, kerbau, hingga hewan buruan seperti rusa.
Pada masa itu, kerupuk tak digoreng menggunakan minyak, melainkan pasir dengan cara disangrai. Dalam Ensiklopedi Umum, A.G Pringgodigdo menulis kerupuk kulit dibuat dari kulit hewan ternak. Lapisan selaput dibuang dan bulu hewan dihilangkan dengan cara dibakar. Kulit kemudian direbus hingga empuk dan diiris-iris untuk lantas dijemur hingga kering.
Kerupuk yang dikenal di Nusantara mulanya hanya terbuat dari kulit kerbau. Menurut Andreas, kerbau dipilih lantaran agama Hindu lebih dulu berkembang di Nusantara ketimbang Islam. Sementara sapi adalah hewan suci dalam ajaran Hindu.
Penggunaan kerbau dianggap mampu mengakomodir kebutuhan itu. Di sejumlah daerah kawasan Pantura saat ini juga ditemukan berbagai kuliner serba kerbau.
“Kemudian, ketika pengaruh Islam semakin kuat, mulai ada penerimaan terhadap sapi,” ujar Andreas. Kerupuk pun tak hanya dibuat dari kulit kerbau, melainkan juga kulit sapi.
Penyebaran Kerupuk dan Popularitasnya Di Nusantara
Meski sebagian besar catatan berasal dari Jawa, bukan berarti kerupuk secara orisinil berasal dari Jawa. Buktinya, meski tak diketahui pasti bagaimana penyebarannya, kerupuk juga dikenal di wilayah lainnya di Indonesia, termasuk Semenanjung Melayu.
Masyarakat di wilayah Semenanjung Melayu mengenal kerupuk dengan sebutan ‘keropok’. Dua makanan yang serupa, tapi beda penamaan.
Fadly mengatakan, tak ada kesimpulan yang menyebutkan kerupuk berawal dari Jawa lalu menyebar ke wilayah Semananjung Melayu. Teori asal-usul kerupuk pun sebenarnya masih diperdebatkan hingga saat ini.
Hanya saja, jika mau ditilik ke belakang, Semenanjung Melayu sendiri pernah jadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-13 ini menjadi salah satu kerajaan terbesar di Nusantara pada masanya.
“Pada masa emporium dan imperium Jawa sampai abad ke-15, pengaruh Jawa menyebar juga ke Semenanjung Melayu,” imbuh Fadly. Kerupuk jadi salah satu komoditas yang diperdagangkan pada masa itu.
Ada kalanya kerupuk jadi ‘juru selamat’ masyarakat. Momen ini terjadi pada era The Great Depression yang menyerang dunia pada tahun 1930-an. The Great Depression merupakan peristiwa menurunnya tingkat ekonomi secara dramatis dan membuat seisi dunia kocar-kacir.
Kala itu, ujar Fadly, harga bahan pangan berbasis hewan seperti keju, susu, dan daging melambung tinggi. Kondisi paceklik memaksa masyarakat untuk mengencangkan ikat pinggang sebagai bentuk keprihatinan.
Di tengah masa paceklik itu, orang-orang bumiputera—sebutan untuk warga pribumi kala itu—justru jadi kelompok yang mampu bertahan. Dalam riset-riset yang ditemukan Fadly, para ahli di masa kolonial menyebut warga bumiputera bisa bertahan hidup cukup dengan nasi, lalapan, ikan asin, kerupuk, dan sambal.
Sementara orang-orang Eropa justru menjadi kelompok terdampak. Betapa tidak, mereka lebih terbiasa mengonsumsi protein hewani yang harganya tengah mencekik kala itu.
Kondisi ini membuat kerupuk juga dianggap sebagai simbol keprihatinan. Dalam masa-masa prihatin itu, kerupuk jadi penolong warga pribumi untuk tetap bisa makan dengan nikmat.
“Jadi, ya, ini yang kita katakan kerupuk merupakan simbol kemelaratan, simbol keprihatinan,” ujar Fadly.
Hal ini pula yang jadi awal mula kemunculan lomba kerupuk pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia saban tahun.
Kala itu, ujar Fadly, lomba makan kerupuk jadi hiburan bagi orang Belanda, di mana warga pribumi saling berlomba untuk makan kerupuk.
“Sebetulnya ini [lomba kerupuk] semacam simbol, representasi kemelaratan yang pernah ada [di Indonesia],” ujar Fadly.