Di antara gedung-gedung dan arus kendaraan yang tak henti, sosok Erik—bukan nama sebenarnya—menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika jalanan. Sebagai tukang parkir liar yang beroperasi di sekitar mal ternama di daerah Jakarta Selatan, Erik telah menjalani pekerjaannya selama lebih dari satu dekade.
“Udah belasan tahun,” kata Erik.
Ia mengelola sebidang lahan parkir liar yang terletak di jalan umum persis di sebelah pusat perbelanjaan. Mayoritas pelanggannya para pekerja di pusat perbelanjaan yang enggan memakai parkir resmi karena mahal. Tarif parkir yang dipatok Erik sebesar Rp 5.000 untuk satu motor dari pagi hingga malam. Tiap harinya ada lebih dari seratus motor.
Erik mengelola parkir liar bersama tiga rekannya. Mereka sama-sama tergabung dalam ormas yang cukup ternama. Secara rutin Erik mengaku mendapatkan jatah Rp 2 juta setiap dua minggu sekali dari parkiran liar.
Erik mengungkapkan, selama ini kelompoknya rutin memberikan uang ‘jatah’ bulanan kepada pihak aparat berwenang. Uang upeti itu diserahkan ke aparatus negara yang kantor maupun posnya terletak di sekitar area parkir liar tersebut. Praktik itu ia lakukan agar usahanya tidak diusik dan terhindar dari razia.
“Rp 200-300 ribu sekitar itu, kasihnya ya di kantor,” ungkapnya.
Walaupun demikian, Erik mengaku pernah terkena razia preman dan ditangkap oleh kepolisian. Insiden itu membawanya menginap semalam di kantor polisi.
Dulu pembangunan kota berorientasi menyediakan fasilitas untuk kendaraan pribadi. Dengan ruang parkir terbatas, kendaraan yang tidak tertampung di lahan parkir resmi akhirnya menumpuk di badan jalan.”
Erik dan kelompoknya tak sendiri. Di sekitar pusat perbelanjaan tersebut banyak warga kampung yang bergantung hidup sebagai tukang parkir. Lahan-lahan parkir dibagi secara merata. Basis kelompok pengelola parkir bermacam-macam. Mulai kelompok pemuda kampung sekitar, anggota ormas, hingga kelompok pemuda berbasis kedaerahan.
Ditemui di lokasi berbeda, Mamat—bukan nama sebenarnya—seorang juru parkir liar, mengklaim harga yang ia patok tergolong murah, yaitu Rp 5.000. Adapun di lahan parkir lain di daerah yang sama, ada yang mematok Rp 10 ribu per motor.
Namun parkir liar bukan tanpa risiko. Sejumlah lahan parkir liar terletak di samping dan belakang gedung mal, memenuhi jalan menurun menuju perkampungan. Dengan posisi menurun dan lokasi yang lebih rendah dari jalan raya, saat hujan area itu rawan tergenang air.
Menurut Mamat, banjir yang datang secara mendadak sering kali terjadi saat volume kendaraan sedang tinggi, terutama pada sore hari. “Kemarin banjir parah banget. Motor-motor banyak yang terendam,” ungkap Mamat.
Ia dan rekan-rekannya harus membantu pelanggan mengeluarkan motor dari genangan air. Meski demikian, ia mengklaim tidak ada pelanggan yang protes karena tarif parkir yang murah.
“Orang sudah tahu risikonya. Kami nggak maksa orang parkir di sini,” tambahnya.
Parkir liar di Jakarta kerap tak dilengkapi sistem jaminan keamanan yang memadai. Rafi, seorang konsumen parkir liar yang berusia 20 tahun, baru dua bulan bekerja di restoran di salah satu pusat perbelanjaan ternama di Jakarta Selatan. Ia mengaku memilih parkir di luar mal karena biayanya lebih murah dibandingkan parkir resmi.
Namun murahnya biaya parkir tersebut ternyata memiliki risiko besar. Ketika hujan deras mengguyur Jakarta awal November lalu, kawasan parkir liar tersebut tergenang air. Rafi baru mengetahui motornya terendam ketika hendak pulang kerja.
“Saat itu sekitar jam tiga sore, saya baru sadar area parkir sudah banjir. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya bahwa tempat itu rawan banjir,” tuturnya.
Tukang parkir di lokasi tersebut, kata Raffi, tidak berinisiatif mengganti kerugian. Bahkan, meskipun motornya terendam, Raffi tetap diminta membayar parkir Rp 5.000.
Akibat insiden itu, Rafi harus mengganti oli dan melakukan perbaikan pada throttle body motornya, dengan total biaya Rp 250.000 hingga Rp 300.000. Meski demikian, ia tidak menyalahkan pihak mana pun. “Ini jadi pelajaran buat saya agar lebih hati-hati dan mempertimbangkan risiko parkir di luar,” ujarnya.
Parkir Liar Terjadi Karena Kolusi Aparat PNS dan Beking Ormas
Masalah parkir liar berakar dari kebijakan pembangunan dan tata kota yang buruk. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengungkapkan fenomena ini merupakan dampak dari paradigma car-oriented development, yaitu ruang dan fasilitas perkotaan lebih difokuskan untuk kendaraan pribadi daripada transportasi umum.
“Dulu pembangunan kota berorientasi menyediakan fasilitas untuk kendaraan pribadi. Dengan ruang parkir terbatas, kendaraan yang tidak tertampung di lahan parkir resmi akhirnya menumpuk di badan jalan,” ujar Syafrin.
Kondisi itu diperparah oleh lonjakan jumlah kendaraan bermotor tiap tahunnya. Berdasarkan data Dishub DKI Jakarta, pertumbuhan kendaraan pribadi mencapai 65 persen per tahun, jauh melampaui pertambahan panjang jalan, yang hanya 0,002 persen. Syafrin menjelaskan solusi masalah tersebut tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi membutuhkan perubahan paradigma pembangunan perumahan menuju transit-oriented development (TOD) dimana kawasan hunian berada dalam walking distance dari sarana transportasi umum.
Dikawasan Jakarta Selatan ini cukup banyak apartemen yang berorientasi TOD karena jaringan TransJakarta dan JakLingko di Bintaro sudah banyak dan nyaman.
“Apartemen di kawasan TOD, misalnya, diizinkan membangun lebih tinggi, tapi dengan kapasitas parkir maksimal yang terbatas. Dengan demikian, orang yang beraktivitas di sana diharapkan menggunakan transportasi umum,” jelasnya.
Parkir on-street (di pinggir jalan) hanya diperbolehkan di lokasi tertentu yang diatur dalam peraturan Gubernur. Di lokasi-lokasi yang tidak diizinkan, Dishub melakukan penertiban, termasuk menderek kendaraan dan mendata juru parkir liar. Namun kewenangan Dishub hanya terbatas melakukan pendataan juru parkir liar.
“Sesuai dengan perda, masalah ketertiban umum bukan di dishub kewenangannya. Jadi kami melakukan pendataan, hasil pendataan ini diserahkan kepada siapa yang berwenang, misalnya tadi pembinaan ketenagakerjaan itu ke disnaker, pendataan siapa yang beking itu ke Kesbangpol, kemudian pelaksanaan tindak pelanggaran ringan di tempat itu ke Satpol PP,” ujarnya.
Namun Syafrin juga mengakui ada anak buahnya yang didapati bermain nakal dengan menjadi beking parkir liar. Selain itu, di kantong-kantong parkir resmi juga ditemukan adanya kebocoran uang retribusi parkir. Uang itu tak seluruhnya mengalir ke Dishub.
“Ya, itu sudah saya temukan (anggota yang menjadi beking parkir liar dan kebocoran retribusi parkir) dan kemudian saya lakukan pembinaan. Jadi jika yang bersangkutan ada jabatannya, itu kami copot. Jika yang bersangkutan ternyata di situ hanya selevel pelaksana, maka kami mutasi,” tegas Syafrin.
Di sejumlah titik, parkir liar dipatok dengan harga yang tak masuk akal. Namun, saat dilakukan penertiban, sering terjadi bentrokan dengan petugas. Misalnya di kawasan Masjid Istiqlal, kata Syafrin, pungutan parkir liar untuk bus mencapai Rp 150 ribu. Begitu juga di tempat lain.
“Dari sekian orang yang ditangkap Dishub, misalnya, itu sekian orang di-backup oleh ormas A, ormas B, institusi A, institusi B, keseluruhannya itu sudah ada petanya (di Kesbangpol),” sambung Syafrin.
Kepala Bidang Kewaspadaan Kesbangpol DKI Jakarta Tri Kurnia Frihatino menjelaskan pihaknya tidak memiliki kewenangan langsung untuk menindak atau memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi.
“Kami bukan eksekutor. Peran kami lebih pada pembinaan terhadap ormas yang terkait. Jika ditemukan adanya ormas yang mendukung atau membekingi aktivitas parkir liar, kami akan menyurat atau mengadakan rapat untuk memberikan pengertian,” ujar Tri Kurnia.
Keberadaan parkir liar, terang Tri Kurnia, terbukti mendapatkan dukungan dari ormas tertentu. Kesbangpol mencatat jumlah ormas yang terlibat parkir liar cukup banyak. Meskipun saat ditanya lebih detail ia mengklaim data yang ada belum direkap secara menyeluruh. Sebagai instansi yang bertugas mengawasi dan membina ormas, Kesbangpol memiliki tanggung jawab memastikan ormas memahami aturan dan tidak memicu konflik sosial.
“Kami pernah bekerja sama dengan Dishub dan Satpol PP untuk operasi penertiban. Selain itu, kami memberikan pembinaan langsung kepada ormas yang terindikasi terlibat,” ujarnya.
Pembinaan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai sosialisasi hingga dialog langsung dan rapat khusus dengan ormas yang terlibat. Dalam kegiatan tersebut, Kesbangpol sering menggandeng narasumber dari kepolisian, TNI, hingga ahli konflik sosial. Namun proses itu diakui tidak selalu berjalan mulus.
“Bicara pemahaman memang agak alot karena umumnya masalah ekonomi menjadi alasan utama mereka tetap bertahan sebagai juru parkir liar,” jelasnya.