Para penghuni dan pemilik rumah susun (rusun) yang tergabung dalam Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) mengeluhkan rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL).
Ketua Umum DPP P3RSi, Adjit Lauhatta menolak IPL dikenakan PPN. Saat ini masih ada penghuni yang menunggak bayar IPL sehingga pemungutan PPN dirasa juga akan sulit dilakukan.
“Outstanding banyak sebenarnya, yang bayar IPL juga nggak rata-rata semua harus bayar. Misalnya seribu unit, yang bayar itu nggak sampai 100%. Lalu, kalau mau tagih mereka lagi dengan PPN, lalu siapa yang mau bayar PPN-nya, kalau yang nggak bayar?” ujar Adjit dalam Press Conference P3RSI di Apartemen Thamrin Residence, Jakarta Pusat
Untuk menyesuaikan biaya IPL, pengelola rusun merasa kesulitan karena penghuni sering kali menolak. Pengelola perlu mempertimbangkan berbagai hal dan memberi pengertian kepada penghuni agar mendapat persetujuan.
“Itu kita mau naikin IPL, mau nyesuaian IPL aja dengan susah payah,” katanya. “Nah, sekarang dari pihak pemerintah minta supaya kena PPN”
Protes Dari PPPSRS Apartemen Tentang PPN IPL
Sementara Ketua PPPSRS Royal Mediterania Garden Yohanes mengatakan penghuni rusun banyak merupakan masyarakat kelas menengah, sehingga memiliki keterbatasan dalam penghasilan. Maka pengenaan PPN akan menambah beban biaya.
“Pengenaan PPN ini akan semakin memberatkan para penghuni untuk melakukan pembayaran IPL. Kami-kami ini yang ada di posisi kelas menengah tentu akan merasakan sekali dampaknya kalau dikenakan PPN kurang lebih 11-12%. Akan tambah berat buat kami menjalankan kehidupan,” katanya.
Sementara Ketua PPPSRS Mediterania Boulevard Residence Kian Tanto menjelaskan IPL yang dihimpun oleh pengelola saja defisit karena masih ada penghuni yang menunggak IPL. Dengan kebijakan tersebut, dikhawatirkan penghuni semakin enggan membayar sehingga berdampak pada operasional rusun.
“Penghuni saya juga mengatakan ‘jangankan bayar PPN, bayar IPL aja udah (susah), sekalian aja kita nggak usah bayar’. Nah apa yang terjadi, dengan (kondisi) saya sekarang aja sudah melakukan pengurangan tenaga kerja,” ucapnya. “Nah pemerintah harus tahu lapangan kerja, dengan defisitnya keuangan, operasional terpaksa sangat terpaksa saya melakukan pengurangan tenaga kerja di apartemen jadi saya harap mungkin sektor lain yang mau dikenakan, bukan dari kita,” sambungnya.
Menurut Kian, tidak semua orang yang tinggal di apartemen adalah orang berada. Para penghuni dibebankan biaya operasional yang mahal dari listrik, air, perawatan lift, kebersihan hingga keamanan.
“Sebenarnya tinggal di apartemen sangat beban sekali tapi karena orang Jakarta ini di apartemen karena jarak kerja, sudah tidak ada lahan. Jadi kita harap pemerintah cari sektor yang lain ya. Jangan lagi. Ini rakyat tidak semua yang tinggal di apartemen orang kaya seperti PNS” pungkasnya.
Protes Tentang IPL Pada Dirjen Pajak Tidak Mendapatkan Tanggapan
Para penghuni dan pemilik rumah susun (rusun) menolak keras rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL). Meski sudah melayangkan protes kepada Direktur Jenderal Pajak hingga kini tak kunjung mendapat tanggapan.
Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) Adjit Lauhatta mengungkapkan sudah melakukan berbagai upaya menyampaikan keresahan para penghuni rusun.
“Kita pernah buat suatu seminar di akhir bulan Juli yang hadir dalam seminar dari Dirjen Pajak hadir. Lalu di situ sempat kita bincang-bincang nantinya setelah seminar kita duduk ya untuk diskusi,” ujar Adjit dalam Press Conference P3RSI di Apartemen Thamrin Residences, Jakarta Pusat
“Lalu, dalam waktu nggak lama setelah seminar kita juga kirim surat untuk audiensi. Nah, sampai sekarang kita belum ada panggilan atau undangan. Nah, ini juga kita herankan kenapa belum” ucapnya.
Penolakan para penghuni rusun tidak mendapat respon dari Dirjen Pajak. Belakangan, pengelola rusun di Jakarta Barat malah diundang untuk sosialisasi yang diduga seputar IPL.
“Tapi tiba-tiba di Jakarta Barat itu diundang sama Dirjennya untuk sosialisasi. Ya memang sosialisasi ini nggak jelas juga ngomongnya. Dia bilang pengelola tapi garis miringnya tentang service charge” ungkapnya.
Apabila pemerintah tetap akan memungut pajak dari IPL, Adjit menyatakan para penghuni rusun berencana akan melakukan demonstrasi. Ia berharap pemerintah bisa mendengar keinginan publik.
“Target kami adalah pemerintah untuk bisa mendengar keluhan ini. Nah ini kalau nggak didengar nanti kita ada tahapan berikut. Tidak menutup kemungkinan kita akan turun ke jalan. Jadi tahapan ini kita jalanin dulu (konferensi pers),” katanya.
Menurutnya, kebijakan ini tidak masuk akal karena iuran tersebut dikumpulkan oleh warga untuk perawatan bangunan rusun, selayaknya iuran kebersihan dan keamanan di perumahan tapak. Ia juga mempertanyakan mengapa tinggal di hunian sendiri perlu membayar PPN.
“Kalau kita di gedung kan sama cuma kita ada tambahan biaya perawatan yang lain, misalnya lift, terus kita pakai outsourcing untuk kita bersih-bersih, security untuk jaga keamanan. Jadi menurut kami itu hal yang sama sebenarnya. Alasannya saya bilang ‘saya tinggal di rumah sendiri, kenapa saya harus bayar PPN?'” jelasnya.
Selain itu, ia menyebut PPN tersebut akan sulit dikumpulkan karena masih ada orang-orang yang menunggak bayar IPL. Bahkan untuk menyesuaikan IPL saja sulit karena kerap ditentang para penghuni apartemen.
“Yang bayar (IPL) itu nggak 100% (penghuni rusun), lalu kita mau tagih mereka lagi dengan PPN. Lalu, siapa yang mau bayar PPN-nya kalau yang nggak bayar (nunggak IPL)?,” tuturnya.
Sementara Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) Mediterania Boulevard Residence Kian Tanto menyatakan keberatan dengan pengadaan PPN pada IPL. Dana yang dihimpun oleh pengelola saja sudah defisit karena masih ada penghuni yang menunggak IPL, maka PPN akan menambah beban warga rusun.
Belum lagi penghuni apartemen juga harus mengurus berbagai perizinan seperti izin laik fungsi (ILF) yang juga memakan biaya. Jika PPN sampai dikenakan pada IPL, ia menilai akan ada dampak-dampak serius pada operasional rusun.
“Penghuni saya juga mengatakan ‘jangankan bayar PPN, bayar IPL aja udah (susah), sekalian aja kita nggak usah bayar’. Nah apa yang terjadi, dengan (kondisi) saya sekarang aja sudah melakukan pengurangan tenaga kerja (karena defisit biaya operasional),” ungkapnya.
Senada dengan itu, Ketua PPPSRS Royal Mediterania Garden Yohanes mengatakan penghuni rusun keberatan karena dasar hukum pengenaannya belum kuat. Selain itu, penghuni yang merupakan masyarakat kelas menengah dengan keterbatasan penghasilan akan merasa terbebani dengan tambahan biaya.
“Pengenaan PPN ini akan semakin memberatkan para penghuni untuk melakukan pembayaran IPL. Kami-kami ini yang ada di posisi kelas menengah tentu akan merasakan sekali dampaknya kalau dikenakan PPN kurang lebih 11-12%. Akan tambah berat buat kami menjalankan kehidupan,” imbuhnya.
Ketua PPPSRS Thamrin Residences Bernadeth Kartika merasa bingung dengan pengenaan pajak yang belum ada dasar hukumnya. IPL yang dikumpulkan itu untuk fasilitas dan kepentingan penghuni rusun bersama.
“Sepanjang peraturan yang ada saat ini yang saya baca tidak ada aturan mengenai iuran yang harus dikenakan PPN, sehingga apabila kami dari PPPSRS harus mengenakan PPN pada iuran, apa yang harus kami katakan kepada warga, dasar hukum apa yang harus kami kasih tahu kepada warga, sehingga kami dapat dituntut oleh warga kami melakukan pungutan liar,” jelasnya.
Kemudian, Ketua PPPSRS CBD Pluit Yus Heri meminta agar pemerintah memperhatikan perasaan masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut.
“Penting sekali juga dari pemerintah itu bisa merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya ini karena kita sebagai pengurus di sini sebenarnya juga perwakilan dari pemerintah untuk mengatur masyarakat yang ada di tempat kami dengan berbagai kendala yang dihadapi,” ungkapnya.