Lompat ke konten

Bustaman Pendiri Kerajaan RM Sederhana

Pada suatu siang awal lalu. “Di restoran Sederhana mana enaknya kita bertemu ya?” suara Bustaman terdengar di ujung telepon. Seperti bertanya kepada dirinya sendiri. Lalu senyap sesaat. Boleh jadi, Bustaman sedang bingung memilih lokasi Sederhana paling pas untuk penemuan wancara itu. Maklumlah, ada lebih dari 100 restoran Sederhana yang ia kelola. “Anda berkantor di Palmerah? Kalau begitu di Sederhana Slipi, KS Tubun, saja,” ujar suara ramah di seberang sana, memberikan kepastian untuk pertemuan esok hari.

Rupanya urusan tempat janjian itu belum selesai. Beberapa jam sebelum waktu pertemuan yang mendadak datang kabar dari Bustaman. “Mohon maaf, bagaimana kalau kita bertemu di Sederhana seberang Pasar Sunan Giri, Rawamangun?” Kami pun maklum. Sore itu ada investor dari Bandung datang ke kantornya yang bersebelahan dengan Sederhana di Sunan Giri, Jakarta Timur.

Maka, di sebuah bangunan bertingkat yang menjadi markas komando jaringan restoran Sederhana, kami berjumpa Bustaman. Kesibukan Bustaman belum cair. Di sela-sela wawancara dan menyapa investor yang antusias, seorang staf nya sibuk mengejar-ngejar Bustaman untuk menandatangani selembar surat edaran yang menentukan waktu libur lebih dari 1.000 karyawan Sederhana.

Rumah Masakan Padang Sederhana Rawamangun

Lahir pada tahun 1942, Haji Bustaman menempuh perjalanan yang luar biasa dari menjadi tukang cuci piring hingga menjadi pendiri dan pemilik sekaligus raja di dunia Restoran Minangkabau terkenal, yakni RM Sederhana. Berkali-kali ia memeriksa detail surat itu dan berdiskusi soal tanggal sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan. Itulah Bustaman, yang pada usia yang sudah cukup lanjut cekatan mengelola Sederhana. Jika di zaman mengkeramatkan standardisasi dan kapitalisasi, Bustaman dengan kecerdikannya sanggup membawa Sederhana berseluncur di arus itu.

Kerajaan Sederhana dibangun seiring perjalanan Bustaman sebagai perantau. Umur masih 13 tahun, Bustaman telah pergi dari kampungnya menuju Jambi, ikut pamannya seorang sopir bus. Selama 15 tahun Bustaman menyambung hidup dengan bekerja apa saja, mulai dari berjualan jagung rebus, rokok, pisang, menjadi kernet angkutan, pedagang asongan, cuci piring di warung makan padang, hingga menyadap karet.

Tahun 1970, Bustaman yang telah menikah dan dikaruniai anak bertolak ke Jakarta memulai hidup baru dengan berjualan rokok di gerobak di kawasan Matraman. Lantaran perselisihan dengan preman setempat, ia pindah ke Pejompongan, dekat sebuah pasar kecil. Drama kehidupan mulai dari digusur, persengketaan tempat, uang dibawa kabur, hingga rumah terbakar mewarnai hidup Bustaman.

Tetapi, bisnis rumah makan sebetulnya berawal dari drama klise, himpitan kebutuhan hidup yang tak cukup lagi dipenuhi dengan berjualan rokok di gerobak Bustaman yang semula belum pandai memasak pun memutuskan nekat berjualan nasi padang.

Bagaimana akhirnya Anda menguasai kelezatan masakan Minang dan membuka rumah makan?

Awal berdagang sangat sulit. Ternyata tidak cukup hanya dengan nekat. Pernah saya masak babat, tetapi bagian dalam nya tidak dibuang. Kotoran ikut terebus sehingga rasanya pahit. Saya dimaki maki pembeli. Nah, kebetulan di dekat kontrakan saya di Pejompongan dulu, ada warung makan padang punya orang Timbulun, Solok. Saya mampir meminta kuah gulai di warung itu. Saya ambil kuah cincangnya. Ya, Allah, enak sekali rasanya. Saya sadar masih harus belajar keras.

Suatu sore tukang masak restoran Timbulun itu berdiri di depan rumah. Saya segera memperkenalkan diri dan katakan, “Saya ini nekat jualan nasi. Bagaimana kalau bapak ajari saya (masak)?” Dia setuju dan memberikan catatan resep. Di situlah saya mendapat ilmu. Resep itu terus saya modifikasi bumbu-bumbu dan bahan-bahannya. Saya terus belajar sambil praktik. Di mana kata orang ada makanan padang enak, saya pergi ke sana. Makan dan pikirkan apa kelebihannya. Saya pelajari. Itulah, seperti pepatah Minang, alam takambang jadi guru (alam yang terbentang adalah guru).

Di mana Rumah Makan Sederhana yang pertama?

Pertama kali, saya berjualan dengan gerobak di Bendungan Hilir. Nasi dan lauk dibawa dari kontrakan di Pejompongan dengan becak. Itu tahun 1972. Sempat ada Tahun 1974, saya buka lagi di kios Pasar Bendungan Hilir. Tahun 1975, buka cabang pertama di Roxy. Setelah itu, terus membuka cabang-cabang lain di Matraman, Johar, Sunan Giri di Rawamangun, dan Tanah Abang.

Bagaimana ceritanya bisa membangun jaringan lebih dari seratus restoran Sederhana?

Saya mulai bermitra tahun 1991. Saat itu, seorang teman saya tertarik membuka rumah makan. Rumah makan kemitraan pertama itu juga di Benhil (Bendungan Hilir) di depan Bank DKI. Dulu, bermitra tidak pakai surat-surat tertulis. Sekian lama, baru pakai perjanjian tertulis. Tahun 1995, mitra-mitra lain bermunculan hingga sekarang ada 100-an investor. Saya bermitra dengan siapa saja, tidak harus kerabat atau orang Minang untuk memperbanyak jumlah restoran.

Bagaimana bentuk kemitraan itu?

Singkatnya, investor kasih modal, kita memanage. Rumah makan di bawah manajemen Sederhana. Kami memasok karyawan dan manajemennya. Sedangkan urusan keuangan sifatnya independen dan ada otoritas sendiri. Termasuk dalam bahan makanan. Sederhana tidak satu dapur. Bayangkan kalau Sederhana di palu, Sulawesi, harus disuplai dari sini (Jakarta), harus jual berapa? Jadi, kami suplai tenaga saja. Juru masak dari kami. Kami yang melatih mereka memasak. Tentu saja ada perhitungan pembagian hasil dengan investor.

Untuk mengelola kemitraan itu, Bustaman mendirikan perusahaan berbadan hukum, PT Sederhana Citra Mandiri. Dia mematenkan pula merek dan logo khas Sederhana berupa gambar rumah gadang dengan tulisan SA Meski demikian, ada saja restoran yang memakai merek Sederhana tanpa izin.

Bustaman sempat membawa persoalan itu ke meja hukum. Kasus-kasus itu tak menghen- tikan pertumbuhan restoran. Sederhana tersebar di Jakarta, Bandung, Serang, Cilacap, Yogakarta Semarang, Purwokerto, Madiun, Solo, Surabaya, Bali, Pa- lembang, Pekanbaru, Jambi, Tanjung Pinang, Batam, Padang, Makassar, hingga Palu.

Jangkau Lidah Nusantara

Menjelang makan malam, obrolan berpindah ke restoran Sederhana di sebelah kantor Bustaman. Di atas meja panjang terhidang berpiring-piring makanan seperti gulai ikan, ayam pop, ayam goreng, telur balado, jengkol balado, dan lain-lain yang mengundang selera. Itu belum seberapa. Ada sekitar 40 makanan tersaji di jaringan restoran Sederhana yang tak pernah sepi pelanggan itu.

Bagaimana cara Sederhana menjangkau lidah Nusantara yang beragam?

Kami mencoba membuat standar rasa yang dapat diterima semua lidah. Standar kualitas makanan itu dikontrol. Pernah ada yang lapor katanya makanan Sederhana kurang pedas. Saya bilang, jangan diubah. Standarnya seperti itu. Kalau kepedasan, nanti anak-anak dan orang Tionghoa tidak suka. Lagi pula, jika kurang pedas bisa minta sambal.

Standar dan kualitas rasa itu benar-benar dipegang Bustaman. Dan, dia tak segan-segan turun tangan untuk menjamin rasa. Usai bersantap malam itu, Bustaman mengingatkan seorang pramusaji yang hendak membereskan piring bahwa ikan bakar yang tersaji terlalu pedas dan itu bukan selera Sederhana.

Apa kunci sukses membangun bisnis rumah makan?

Pemilik atau pengusaha rumah makan harus bisa memasak. Itu kuncinya. Kalau pemilik bisa memasak, sekalipun juru masaknya dibajak orang, dia akan mampu mencetak juru masak baru lagi.

Kedua, sukses itu kerja keras dan fokus. Tidak bisa bekerja setengah-setengah. Pengusaha rumah makan mesti mengerti mulai dari cuci piring sampai menjual. Seluk-beluk rumah makan dari A sampai Z dimengerti.

Bagaimana dengan pencarian lokasi?

Selalu cari tempat strategis. Kami pelajari bagaimana lingkungannya, apakah perkantoran atau perumahan. Dari mana calon konsumennya? Kalau kurang sesuai dengan perhitungan, kami tidak mau.

Apakah pernah muncul kekhawatiran akan persaingan sesama rumah makan minang?

Yah, Nusantara ini ramai. Di Jakarta saja yang buka restoran itu ribuan. Orang Minang pun ada dimana-mana dan makanannya disukai. Tetapi, kalau ditelisik, pada akhirnya masing-masing punya ciri khas.

Apa moto bisnis Anda?

Saya sering ajarkan ke karyawan, pikirkan lalu kerjakan, kerjakan kemudian pikirkan. Jangan berpikir saja, tetapi tidak bekerja atau bekerja saja tetapi tidak di pikirkan. Itu diterapkan di rumah makan.

Contohnya, bekerja jangan harus disuruh dahulu. Yang bisa dikerjakan, lakukanlah. Lalu pikirkan apakah hasilnya sudah bagus? Benar atau tidak? Itu sebuah siklus. Saya diberi wejangan itu oleh seorang teman saya asal Palembang waktu itu, saya baru menikah dan berkunjung ke ru-mahnya. Dia katakan, tidak bisa kasih hadiah apa-apa. Hanya bisa memberi wejangan yang kalau bisa diamalkan akan bisa membantu.

Keberhasilan Anda tak lepas dari perjalanan merantau. Jika kembali ke titik itu, apa yang sebenarnya mendorong pergi merantau?

Kalau diibaratkan bertanam padi, benih itu tak berbuah jika tidak dipindahkan. Mesti dipindahkan atau ditanam di sawah barulah berbuah. Sama dengan kita. Kalau tidak hijrah, tidak berkembang. Lagi pula, orang Minang itu percaya diri. Dari makanan juga sudah terlihat, ha-ha-ha.

Orang Minang selalu merantau. Padahal, modalnya cuma celana pendek, ransel, dan tulang delapan kerat (Bustaman menepuk tulang-tulang tangan, lengan, paha, dan betisnya). Itulah yang saya bawa sebagai modal, Tangan dan kaki, ha-ha-ha.

Percakapan pun larut dengan malam. Satu per satu pelanggan mulai meninggalkan restoran. Tiba-tiba terdengar suara saluang (alat musik tiup Minangkabau) yang menyayat hati dari telepon seluler Bustaman, memecah perbincangan. Dia permisi mengangkat telepone. Pekerjaan sepertinya mengikuti Bustaman dalam gelapnya malam sekalipun.

Bustaman

Lahir: Lintau Buo, Sumatera Barat 11 September 1942
Pendidikan: Sekolah Rakyat, setara sekolah dasar (sampai kelas II)
Restoran Pertama: Sederhana Eendungan Hilir (1972)
Perusahaan: PT Sederhana Citra Mandiri
Jumlah Restoran: 112 restoran dalam jaringan kemitraanSederhana
Penghargaan:
Penghargaan Nasional Hak Kekayaan Intelektual (sebagai pemilik HKI sukses) 2011 .
The Indonesian Small and Medium Business Entrepreneur Award