Skip to content

Berburu Harta Karun Kerajaan Sriwijaya Di Sungai Musi

Harta karun yang ditemukan di Sungai Musi merupakan peninggalan dari peradaban masa lalu. Termasuk dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Dalam situs Jurnal Online UNJA, ada jurnal berjudul Analisis Temuan Benda-benda Peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Sungai Musi Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah. Jurnal tersebut disusun Dinda Sintya, Muhamad Aldian Roni, dan Reka Seprina dari Universitas Jambi.

Melalui jurnal tersebut, mereka menyebutkan sederet ‘harta karun’ dari Sungai Musi yang merupakan peninggalan zaman Sriwijaya. Mulai dari tembikar hingga uang logam.

Sungai Musi adalah sungai yang menonjol pada masa Kerajaan Sriwijaya. Sungai tersebut banyak dilalui arus perdagangan. Maka tak heran jika hingga saat ini menyimpan banyak peninggalan yang terpendam, yang kemudian disebut sebagai harta karun Sungai Musi.

Banyak artefak yang telah ditemukan di dasar Sungai Musi, termasuk peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya. Mulai dari keramik, koin, uang, pedang, dan lain sebagainya.

Harta Karun Sungai Musi Peninggalan Zaman Sriwijaya

1. Tembikar

Tembikar yang dimaksud adalah guci dari masa Kerajaan Sriwijaya. Guci itu berbahan dasar tanah liat yang dibakar pada suhu tinggi. Penyelam yang mencari harta karun di Sungai Musi biasanya menggunakan peralatan alakadarnya. Sehingga aksi mereka sering disebut bertaruh nyawa. Mereka menemukan tembikar itu di dasar Sungai Musi pada kedalaman sekitar 25 meter.

2. Surat timah

Surat timah itu juga ditemukan di Sungai Musi pada kedalaman kurang lebih 25 meter. Surat itu ditemukan dengan beberapa retakan, namun secara keseluruhan kondisinya layak dengan tulisan yang terbaca. Huruf Palawa dan Sanskerta ditulis di atas timah. Dulunya, surat itu bisa dilipat.

Diketahui, timah berasal dari Pulau Bangka pada masa Sriwijaya. Itu mendukung identifikasi penemuan tersebut sebagai peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya.

3. Uang Berbahan Timah

Uang berbahan timah itu berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Uang Perahu ditampilkan di sebelah kiri, dan Uang Bambu. ditampilkan di sebelah kanan. Sesuai dengan namanya, uang itu merupakan alat tukar pada masa Kerajaan Sriwijaya yang digunakan untuk berdagang dan sebagai alat jual beli dalam bertransaksi.

Uang berbahan timah tersebut memiliki lengkungan seperti perahu, beberapa ukiran, dan aksen panjang di tengahnya. Besarnya uang tunai itu menunjukkan nilainya yang semakin lama, semakin berharga. Uang itu memiliki ukiran yang berbeda pada setiap ukurannya, sehingga dapat dibandingkan dengan mata uang modern.

Pameran Harta Karun Sriwijaya Dari Sungai Musi

Temuan benda-benda bersejarah dari Sungai Musi dikumpulkan di Museum Negeri Sumatera Selatan Balaputra Dewa. Setidaknya ada 16 ribuan koleksi yang kini ditampilkan dan bisa dilihat masyarakat. Usianya berkisar puluhan hingga ribuan tahun.

“Temuan benda-benda bersejarah kita simpan di Museum Negeri Sumsel Balaputra Dewa. Tak hanya temuan dari Sungai Musi saja, tapi juga dari tempat-tempat lain. Jumlahnya sekitar 16 ribuan,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel, Panji Tjahjanto.

Beragam temuan itu merupakan peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, dan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Benda-benda bersejarah yang belum ditemukan karena masih terkubur dan dimiliki orang-orang tertentu pun masih banyak.


“Kita berharap kepada masyarakat apabila menemukan benda-benda bersejarah, agar melaporkan ke instansi yang berwenang,” kata Panji.

Plh Kepala Museum Negeri Sumsel Balaputra Dewa, Amarullah menyebut hibah dari warga kepada pemerintah yang menjadi koleksi museum juga cukup banyak. Mulai dari koin mata uang guci, pedang, golok, keris, meriam, keramik, botol, kemudi kapal sepanjang 7,7 meter, arca, lonceng Buddha, dan canting cap batik Palembang.

“Ada yang hasil jemput bola karena terbengkalai dan hibah warga kepada kita secara sukarela. Hasil hibah dari warga nanti kita tampilkan nama penemunya sebagai bentuk apresiasi,” terang Amarullah.


Menurut Amarullah, Kota Palembang menjadi wilayah persinggahan dan transit pada zaman dulu. Berbagai bangsa datang untuk berdagang di sekitaran wilayah tersebut. Jalur Sungai Musi menjadi pilihan ketimbang jalur darat. Faktor itu yang membuat ‘harta karun’ di Sungai Musi cukup banyak.

“Usia hasil temuan dan jadi koleksi museum mulai dari puluhan tahun hingga ribuan tahun. Yang paling tua (ada di museum), ada kepeng Ban Liang dari abad kedua sebelum masehi. Kalau di museum, koleksi yang paling bernilai itu kami sebut sebagai Koleksi Masterpiece,” imbuhnya.

Edukator Museum Negeri Sumsel, Benny Pramana Putra mengungkapkan Kepeng Ban Liang merupakan hibah warga kepada museum. Koin itu ditemukan di Sungai Musi. Kepastian usia koin itu disebut valid karena berasal dari Dinasti Han yang berkuasa sejak 206 sebelum Masehi sampai 220 Masehi.

Golok Kuningan Berlapis Emas

Selain koin itu, koleksi masterpiece lainnya adalah golok kuningan berlapis emas yang bentuknya langka. Golok itu disebut barang hasil akulturasi banyak kebudayaan, yakni berunsur Melayu, Jawa dan China. Diperkirakan senjata itu berasal dari periode klasik muda sekitar abad ke-11 hingga ke-15 Masehi.

Kemudi Kapal Panjang 7,7 Meter

“Ada juga kemudi kapal yang panjangnya 7,7 meter yang ditemukan di kedalaman 40 meter. Teknologi pembuatan kapalnya ada pengaruh Eropa di bagian bilah yang disebut ekor burung. Belum dapat dipastikan apakah dari Belanda atau bukan. Namun itu bukan kemudi tunggal. Maksudnya ada pasangannya, bisa dua atau tiga kemudi pada satu kapal. Panjang kapalnya bisa mencapai 30 meter,” terang Benny.

Canting Cap Batik Palembang

Yang menarik adalah tujuh canting cap Batik Palembang. Canting cap itu untuk kain Batik Palembang motif encim. Temuan itu menambah teori tentang produksi Batik Palembang. Selama ini, kata Benny, banyak yang belum tahu tentang sentra kerajinan Batik Palembang. Kebanyakan orang mengetahuinya kain Batik Palembang sejak 300 tahun lalu sampai sekarang, masih diproduksi di sentra kerajinan batik di Jawa.

“Temuan canting cap di Sungai Musi mendukung pendapat ini karena walaupun kainnya dibatik di Jawa, motifnya Palembang-an. Jadi, Wong Plembang ngirim bentuk motifnya untuk dibuat kain melalui canting cap itu. Bisa dianggap kalau sekarang kita ngirim desain dalam bentuk gambar, orang dulu ngirim desain dalam bentuk canting cap,” jelasnya.

Harta Karun Hasil Hibah Para Pemburu

Menurut Benny, temuan-temuan benda bersejarah itu tak ternilai harganya. Meski begitu, sebagian besar didapat dari hibah pemilik dan penemu.

“Kalau untuk harga, dari sisi nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya jelas tidak bisa dinilai. Namun, Alhamdulillah sebagian besar koleksi didapatkan dengan cara hibah. Pun ada beberapa koleksi yang didapatkan melalui proses pengadaan barang, itu sekadar pemberian imbalan jasa,” ungkapnya.

Ia mencontohkan koleksi mata uang berbahan timah. Imbalan jasa yang diberikan jauh di bawah harga jual timah dunia. Maka dari itu, mereka yang menyerahkan benda bersejarah itu sangat diapresiasi.

“Padahal, jika mengacu harga pasaran timah, seharusnya lebih mahal atau sekian nilai uangnya. Jadi, perlu juga disampaikan apresiasi kepada masyarakat Sumsel atas kepeduliannya. Terpenting, museum koleksinya bertambah banyak, benda ini bisa lebih bermanfaat kalau di museum. Museum juga lebih paham cara perawatannya,” tutupnya.

Kisah Perjuangan Para Pemburu Harta Karun Sungai Musi

Sudah menjadi rahasia umum, Sungai Musi menyimpan benda-benda berharga dari peradaban yang telah lalu. Maka tak heran jika muncul istilah harta karun Sungai Musi. Maka dari itu, perahu yang ada di Sungai Musi tidak melulu milik nelayan pencari ikan. Tapi, banyak juga perahu para pencari harta karun yang dilengkapi mesin kompresor.

Para pencari harta karun mengandalkan mesin kompresor untuk menyelam ke dasar sungai. Dengan begitu, penyelam bisa bertahan hingga dua jam di dasar sungai. Sebab, kedalaman Sungai Musi mencapai puluhan meter. Pencari harta karun di Sungai Musi berani bertaruh nyawa di kedalaman 20-30 meter. Ada manis getir yang mereka rasakan setiap harinya.

Salah seorang pencari harta karun di Sungai Musi yakni Madon (24). Menariknya, mencari harta karun di Sungai Musi sudah menjadi mata pencaharian bagi banyak orang, bahkan ada yang sampai turun-temurun.

Madon yang kini kerap menyelam ke dasar Sungai Musi, ternyata menggantikan ayahnya yang sudah berhenti karena faktor usia. Menurut Madon, ayahnya juga menjadi pencari harta karun sejak muda seperti dirinya.

“Saya baru dua tahun menjadi penyelam dan pencari harta karun di dasar Sungai Musi ini, menggantikan ayah,” kata Madon.

Dalam satu perahu biasanya berisi delapan orang. Ada yang bertugas memegang selang kompresor, memegang selang besar penyedot pasir dari dasar sungai, dan ada yang bertugas mengayak pasir. Sementara itu, untuk penyelam ada tiga orang.

“Untuk menyelam ini harus memiliki mental yang kuat karena kita bertaruh nyawa di sini. Kita harus menyelam di dasar sungai yang keadaannya begitu gelap dan tidak tahu ada bahaya apa di sana,” ungkapnya.

Biaya Operasional Pencarian Harta Karun Sungai Musi

“Suka duka mencari harta karun ini selain kena panas dan dingin air, kadang juga tidak dapat apa-apa setelah lama menyelam di dasar sungai. Bahkan hanya balik modal saja,” kata Madon

Madon merupakan salah satu pencari harta karun di Sungai Musi. Jika beruntung, ia dan rekan-rekannya bisa mendapatkan emas untuk dijual per gram. Sementara itu, untuk barang berharga lainnya dijual mulai harga Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu.

“Jika sedang beruntung sehari bisa mendapatkan uang Rp 1 juta. Tapi kalau tidak beruntung kadang tidak dapat apa-apa,” ujarnya.

Uang yang didapat akan dibagi ke semua kru. Sementara itu, untuk kapal tidak begitu banyak membutuhkan biaya, hanya Rp 200 ribu. Sebab, kapal tersebut milik dirinya sendiri.

“Hasil dari pencarian harta karun nanti dijual ke pengepul yang memang sudah ada. Kalau tidak laku kadang di koleksi sendiri,” pungkasnya.

Satu perahu berisi delapan orang. Ada yang bertugas memegang selang kompresor, memegang selang besar penyedot pasir dari dasar sungai, dan ada yang bertugas mengayak pasir. Sementara itu, untuk penyelam ada tiga orang.

“Untuk yang bertugas menyelam ada tiga orang dan mulai menyelam dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.30 WIB,” imbuhnya.

Kru yang paling peting adalah mereka yang memegang mesin kompresor, karena mereka memberi oksigen penyambung nyawa bagi penyelam. Selama berada di dalam sungai, penyelam akan memberikan kode kepada pemegang selang.

Kode itu, misalnya berupa satu kali tarikan saat penyelam meminta udara mesin kompresor dibesarkan. Dua kali tarikan dari penyelam berarti meminta udara dari mesin dikecilkan. Lalu ada kode tarikan tiga kali, di mana penyelam minta ditarik ke atas.

“Kru yang bertugas di mesin kompresor adalah kru yang sangat penting karena nyawa penyelam tergantung pada kru ini. Jadi, kru ini harus fokus selama kurang lebih dua jam menunggu penyelam,” terangnya.

Kru yang bertugas menyelam tidak dilengkapi alat profesional seperti penyelam pada umumnya. Mereka hanya menggunakan masker selam dan alat pemberat yang ditambah rantai. Mereka juga menggunakan tas dukung karena ada tali di belakangnya.

Sebelum menyelam, Madon harus memiliki fisik yang sehat dan mental yang kuat. Pekerjaan ini bukan hanya satu atau dua hari, tapi setiap hari. Mereka mencari harta karun di dasar Sungai Musi. Penyelam juga harus melihat pasang surut air sungai. Jika sedang pasang, maka upaya menyelam dihentikan dulu.

Menurut Madon, untuk mendapatkan harta karun di sungai Musi yang airnya keruh dengan kedalaman 20-35 meter ini memang butuh perjuangan. Tangan kanannya juga menggunakan sarung berwarna hitam, agar saat meraba dasar sungai tidak sampai terluka.

“Saat berada di dalam dasar Sungai Musi, saya hanya bisa meraba dan menggunakan perasaan untuk meraih barang-barang yang menurut kita menarik, lalu dimasukkan ke saku celana dan menggunakan sarung tangan agar tidak terluka,” tutupnya.

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, dan mereka yang berada di atas perahu tampak serius memegangi selang kompresor yang membentang hingga dasar Sungai Musi. Itulah mereka, para pencari harta karun di Sungai Musi.

Pandangan mereka tak lepas dari Sungai Musi yang sedang keruh. Dari atas sungai terlihat buih-buih sisa pernapasan. Di sanalah, ada seorang pria muda yang sedang bertaruh nyawa mencari harta karun.

Setelah 30 menit menunggu, ada teriakan ‘tarik’ dari seorang pria paruh baya di atas perahu. Lalu timbul seorang pria menggunakan masker selam. Mereka langsung membantu menarik pria bernama Madon (24) itu untuk naik ke atas kapal.

Setelah melepas masker selam dan tali pemberat, Madon merogoh kantong celananya untuk mengeluarkan barang yang didapat dari dasar Sungai Musi. Selama dua jam berada di kedalaman 20 meter, Madon hanya menemukan sebuah keramik putih dan serbuk emas yang disedot menggunakan selang besar berwarna biru.

Hari ini Madon kurang beruntung dalam mencari harta karun peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Ia tidak memperoleh barang-barang antik lainnya atau pun emas.

“Saya sudah menyelam kurang lebih dua jam di kedalaman 20 meter di Sungai Musi. Tapi hari ini tidak begitu banyak yang didapat. Hanya serbuk emas saja dan sebuah botol kecil keramik,” kata Madon saat ditemui.

Jika sedang beruntung, para pencari harta karun bisa mendapatkan barang-barang antik dan berharga seperti keramik hingga emas. Untuk keramik biasanya peninggalan zaman Dinasti Ming, Dinasti Tang, Dinasti Yuan, Dinasti Sung, dan Dinasti Vet generasi kelima. Meski baru dua tahun menjadi penyelam harta karun menggantikan ayahnya, Madon sudah khatam dengan nama-nama harta karun yang ia dapat.

“Saya baru dua tahun menjadi penyelam dan pencari harta karun di dasar Sungai Musi ini, menggantikan ayah,” imbuh Madon.

Menurut Madon, ayahnya mencari harta karun peninggalan Kerajaan Sriwijaya sejak masih muda seperti dirinya. Kini ayahnya sudah mulai tua dan tidak sanggup lagi menyelam.

Pemkot Minta Semua Temuan Harta Karun Sungai Musi Dilaporkan

Sungai Musi di Palembang menyimpan banyak harta karun berupa peninggalan sejarah. Warga hingga para pencari harta karun diminta melapor ke Dinas Kebudayaan jika menemukan barang bersejarah.
“Masalah harta karun di dasar Sungai Musi Palembang ini, saya pernah mempunyai pemikiran jika Pemkot minta bantuan dengan Danlanal Palembang, untuk membantu Pemkot mengumpulkan kembali harta karun tersebut, sehingga museum kita kaya akan barang dan benda bersejarah,” kata Pj Wali Kota Palembang, Ucok Abdulrauf Damenta.

Ucok mengaku sudah tahu sejak lama soal dasar Sungai Musi yang menyimpan banyak harta karun peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Kepingan mata uang zaman dahulu kerap ditemukan di Sungai Musi dan menjadi koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

“Saya sejak bertugas menjadi Pj Wali Kota Palembang melakukan kunjungan ke Museum Palembang. Saya lihat ada keping-kepingan mata uang tempo Hindia Belanda atau Kesultanan Palembang. Itu ternyata dapat dari dasar Sungai Musi Palembang,” ungkapnya.

Ucok menyayangkan harta karun dari dasar Sungai Musi diperjualbelikan. Seperti benda-benda antik dan bersejarah, termasuk peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya.

“Sayang harta karun di bawah Sungai Musi Palembang itu banyak diperjualbelikan masyarakat. Benda-benda antik dan bersejarah membuktikan Kerajaan Sriwijaya. Saya yakin banyak para pencari harta karun yang mendapatkan benda antik tidak melapor dan langsung menjualnya,” jelas Ucok.

Ucok berharap kepada masyarakat terutama para pencari harta karun di Sungai Musi Palembang, apabila menemukan benda-benda bersejarah, segera melapor ke instansi terkait.

“Dalam hal ini bisa melaporkan ke Dinas Kebudayaan Palembang, agar peninggalan sejarah dan barang antik yang berada di dasar Sungai Musi Palembang tetap terjaga,” tutupnya.