Selama dekade terakhir abad ke 15, kerajaan Demak yang berlangsung dari tahun 1475 hingga 1568 didirikan. Pendirinya adalah putra Haji Chen Xuanlong/Tan Swan Liong dari Palembang di Sumatera Selatan dimana pada saat itu terdapat komunitas Cina yang besar yang sebagian besar adalah Muslim.
Putranya bernama Chen Jinwen alias Raden Patah atau yang dikenal dengan nama Panembahan Tan Jin Bun atau Arya (Cu-Cu) Sumangsang atau Prabu Anom. Orang Portugis memanggilnya dengan sebutan Pate Rodin Sr.
Menurut catatan sejarah Tome Pires, seorang penjelajah Portugis, Chen Jinwen atau Raden Patah adalah seorang “persona de grande syso” (orang besar yang memiliki kebijaksanaan yang luar biasa), seorang “cavaleiro” (ksatria yang mulia). Profesor Indonesia Slamet Mulyana menjelaskan bahwa Jinwen atau Jin Bun berarti orang kuat.
Elit penguasa kerajaan Demak sebagian besar terdiri dari orang Cina. Sebelum masa penjajahan Eropa perkawinan campur antara orang Cina yang egaliter dengan penduduk asli Jawa merupakan hal yang lumrah.
Pigeaud dan Dr. de Graaf menggambarkan kondisi pada abad ke 16 sebagai berikut yaitu di kota-kota pelabuhan di pulau Jawa, para elit penguasa sebagian besar terdiri dari keluarga Cina muslim yang sebagian anggota prianya mengambil wanita Jawa sebagai istri.
Berbagai sumber sejarah Jawa menyebutkan bahwa pada abad ke 16 terdapat banyak orang Cina yang tinggal di kota-kota di sepanjang pesisir utara Jawa. Selain di Demak, mereka juga banyak terdapat di Cirebon, Lasem. Tuban, Gresik (Shi Chun) dan Surabaya (Shi Shui). Banyak dari Muslim Cina ini yang memiliki nama-nama Arab seperti pada umumnya muslim lainnya yang senang mengambil nama Arab.
Salah satu cucu Raden Patah Chen Jinwen diketahui memiliki ambisi untuk menjadi setara dengan Sultan Turki dari kalifah kekaisaran Ottoman. Menurut de Graaf dan Pigeaud, Chen Muming atau Tan Muk Ming (Sunan Prawata), Sultan Demak terakhir berkata kepada Manuel Pinto bahwa ia berusaha sekuat tenaga untuk menjadi “O Segundo Turco” atau Sultan Turki kedua yang setara dengan kemegahan Sultan Islam Ottoman Suleiman I. Terbukti bahwa selain melakukan ibadah haji, ia juga mengunjungi Turki untuk mempelajari kebudayaan dan ilmu disana.
Sejumlah sumber Jawa menekankan bahwa para sultan kesultanan Demak adalah orang Cina islam. Tidak mungkin untuk memasukkan semua nama tokoh sejarah Cina sebelum masa kemerdekaan Indonesi ataupun setelahnya karena jumlahnya terlalu banyak. Di antara yang lainnya adalah
- Raden Husein (Pang Jinshan / Bong Kin San, sepupu Chen Jinwen),
- Sunan Bonang (An Wen’an/An Bun Ang),
- Sunan Drajat (Pang Dajing/Bong Tak Keng) putra Sunan Ampel alias Rahmat Pang Suihe/Bong Swie Ho),
- Sunan Kalijaga (Gan Xichang/Gan Si Chang),
- Sunan Kudus (Jaffar Zha Dexu/Ja Tik Su),
- Haji Maulana Ifdil Hanafi Chen Yinghua/Tan Eng Hoat,
- Endrasena panglima terakhir pasukan Sunan Giri,
- Pangrean Hadiri alias Sunan Mantingan yang merupakan suami dari Ratu Kalinyamat, Ki Rakim,
- Nyi Gede Pinatih (Shi Tainiang/Sie Tay Nio) ibu dari Raden Paku dan putri Laksamana Shi Jinqing/Sie Chin Ching yang merupakan penguasa komunitas Tionghoa di Palembang.
- Putri Chen Wangtian/Tan Ong Tien yang merupakan putri dari Haji Chen Yinghua yang merupakan istri dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidaytullah Du Anbo/Toh A Bo) pendiri kesultanan Cirebon,
- Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak di sebuah rumah doa di Prajekan dekat Situbondo, Jawa Timur dan dianggap sebagai tempat yang sakral),
- Adipati Astrawijaya yaitu bupati yang dipilih oleh VOC namun berpihak pada pemberontak ketika orang Cina di Semarang bersama Cina Jakarta memberontak melawan Belanda pada tahun 1741 dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda hingga Surabaya.
- Kanjeng Raden Tumenggung (KRT-gelar bangsawan) Secodiningrat (Chen Jinxing/Tan JIn Seng)
Menurut Profesor Mulyana, Sunan Giri dari pihak ayah adalah cucu dari Rahmat Wang Suihe, seorang Cina Muslim dari provinsi Yunnan, Cina, yang menjabat sebagai gubernur Champa di Vietnam saat itu, sebelum kedatangannya di Jawa di mana ia menjadi koordinator Ulama di komunitas Cina di Asia Tenggara.
Pengaruh arsitektur Cina terlihat jelas dalam desain masjid-masjid di Jawa. Islam mazhab Hanafiyah lah yang pertama kali masuk ke Sumatera Selatan dan Jawa dari Cina pada masa Dinasti Yuan dan Dinasti Ming.
Profesor Mulyana berpendapat bahwa jika Islam di pesisir utara Jawa berasal dari Malaka atau Sumatra Timur maka Islam akan bermazhab Syafi’i atau Syiah namun kenyataannya tidak demikian.
Dia menekankan bahwa sampai abad ke 13 mazhab Hanafi hanya ada di Asia Tengah, Cina, India Utara dan beberapa bagian Timur Tengah/Maghreb (Afrika Utara Islam) dan Turki.
Gelombang emigrasi besar-besaran dari Cina ke Sumatera Selatan, Jawa dan bagian lain dari Asia Tenggara dimulai pada tahun 1385, 17 tahun setelah dimulainya dinasti Ming.
Jauh sebelum itu, Champa diduduki oleh Nasaruddin, seorang jenderal Muslim dalam pasukan Kubilai Khan. Jenderal Nasaruddin diduga telah menyebarkan Islam di Cochin, Cina. Sejumlah pusat Cina Muslim didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.
Pada tahun 1413 ketika Laksamana Muhammad Ma Huan tiba di Jawa bersama Laksamana Zheng He atau Cheng Ho beserta armada Cina, ia mencatat bahwa sebagian besar penduduk Cina di sana adalah Muslim.
Pada saat itu belum ada orang Jawa yang beragama Islam. Antara tahun 1513-1514, Tome Pires menggambarkan Gresik di Jawa Timur sebagai kota yang makmur yang dikuasai oleh orang pedagang Cina.
Pada tahun 1451, Ngampel Denta didirikan oleh Rahmat Wang Suihe alias Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk asli. Sebelumnya, ia mengelola sebuah pusat Muslim Cina di Bangil, juga di Jawa Timur.
Menarik untuk dicatat bahwa setidaknya sampai masa pendudukan Jepang (1942-1945), di kota Malang, Jawa Timur, penduduk asli setempat masih memanggil orang Cina yang baru datang dengan sebutan ‘Kyai’. Kyai berarti guru agama Islam.
Padahal kebanyakan orang Tionghoa yang baru datang ke Asia Tenggara bukanlah pemeluk agama Islam. Kebiasaan ini diwarisi dari masa lalu ketika sebagian besar pemukim ataupun pendatang Cina di Jawa adalah Muslim.
Gelar Sunan berasal dari dialek Fujian ‘Suhu/Saihu’. Delapan dari Walisongo atau Sembilan Wali menyandang gelar Sunan, satu di antaranya menyandang gelar Syekh dari bahasa Arab Syekh dan kesembilannya adalah orang Tionghoa yang menganut mazhab Hanafi dalam Islam dan bukan Hambali atau Wahabi.
Kesimpulan yang wajar dari hal ini adalah bahwa para misionaris Islam mazhab Hanafiyah pada waktu itu sebagian besar adalah orang CIna. Hal ini kurang lebih dapat dibandingkan dengan penyebaran agama Kristen dari Eropa ke benua lain.
Hingga abad ke 19, para misionaris Kristen yang menyebarkan agama mereka ke luar negeri sebagian besar adalah orang Eropa. Daratan Cina lebih luas daripada Eropa. Membuat perbandingan dengan Cina tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa akan tetapi harus dengan Eropa secara keseluruhan.
Seperti Eropa, Cina adalah rumah bagi banyak keanekaragaman etnis dan bahasa namun keuntungan orang Cina dalam hal ini adalah bahwa ideogram Cina dapat dipahami secara umum oleh berbagai kelompok orang Cina meskipun ada ketidaksamaan dalam bahasa yang diucapkan.
Catatan Sejarah dan Daftar Pustaka
- De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islam in Java 1500-1700”.
- Amen Budiman “Chinese Muslims in Indonesia”.
- Slamet Mulyana “A story of Majapahit”.
- Slamet Mulyana “The Fall of the Javanese Hindu Kingdoms and the Rise of Islam in Nusantara”.
- Jan Edel “Biography of Hasanuddin”.