Inilah masalah dasar konservasi di tingkat global: produksi pangan, keanekaragaman hayati dan emisi karbon dalam ekosistem bersaing untuk lahan yang sama. Karena pertumbuhan penduduk membutuhkan lebih banyak makanan maka lebih banyak hutan dan ekosistem alami lainnya dibumi hanguskan dan pertanian semakin intensif dan menjadi kurang ramah bagi banyak hewan dan tumbuhan liar. Oleh karena itu, konservasi global yang saat ini difokuskan pada KTT COP15 di Montreal akan gagal totla kecuali mau untuk mengatasi masalah pokok yaitu produksi dan ketahanan pangan.
Untungnya, sebuah perangkat metode teknologi pangan baru sedang dikembangkan yang membuat revolusi seluruh sistem dalam produksi pangan dapat dilakukan secara ekonomis. Menurut penelitian terbaru transformasi teknologi pangan ini dapat memenuhi permintaan pangan global yang meningkat dengan pertumbuhan populasi manusia dengan menggunakan kurang dari 20 persen lahan pertanian yang ada di dunia saat ini atau dengan kata lain, teknologi ini dapat mengembalikan setidaknya 80 persen lahan pertanian yang ada saat ini kembali menjadi lahan untuk penghijauan atau hutan keanekaragaman hayati dalam waktu sekitar satu abad.
Sekitar empat per lima dari tanah yang digunakan untuk produksi makanan manusia dialokasikan untuk daging dan produk susu termasuk tanah perkebunan dan tanaman yang ditanam khusus untuk memberi makan ternak. Jadi bayangkan bawha jumlah lahan ini adalah setara dengan seluruh India, Afrika Selatan, Prancis, dan Spanyol yang dikhususkan digunakan untuk tanaman yang kemudian digunakan sebagai makanan ternak.
Perkebunan kedelai Brasil yang sangat besar sebagian besar menghasilkan makanan untuk hewan dan bukan manusia. Meskipun semakin banyak vegetarian dan vegan di beberapa negara namun konsumsi daging global telah meningkat lebih dari 50 persen dalam 20 tahun terakhir dan diperkirakan akan berlipat ganda pada akhir abad ini. Seperti yang terjadi bahwa untuk memproduksi semua daging ekstra itu berarti kita harus mengubah lebih banyak lahan menjadi peternakan atau menjejalkan lebih banyak lagi sapi, ayam dan babi ke lahan yang ada. Tidak ada pilihan yang baik untuk kelangsungan keanekaragaman hayati.
Daging sapi dan domba adalah penghasil daging yang mengandung banyak protein tetapi mereka juga menggunakan lahan yang sangat luas. Produksi daging dan susu sudah menjadi bisnis yang tidak menyenangkan bagi hewan. Misalnya sebagian besar ayam dibesarkan dalam pusat pemberian pakan operasional dengan kepadatan sangat tinggi. Sekarang peternakan babi, sapi dan terutama susu juga melakukan hal yang sama mencontoh peternakan ayam. Teknologi saat ini kejam bagi hewan termasuk mencemari dan berbahaya bagi keanekaragaman hayati dan iklim global. Jangan disesatkan oleh kartun sapi bahagia dengan bunga aster yang menonjol dari bibirnya.
Jika produksi pangan tidak ditangani secara menyeluruh dan kompresensif maka kita akan menghadapi perubahan yang tak terhindarkan lagi dan kali ini tanpa harapan untuk sukses dalam jangka panjang. Kita perlu mengatasi penyebab perubahan keanekaragaman hayati. Pendekatan global utama terhadap perubahan iklim adalah berfokus pada penyebab dan meminimalkan emisi gas rumah kaca bukan menciptakan miliaran payung (walaupun kita mungkin membutuhkannya juga). Hal yang sama diperlukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
Mempertahankan Keanekaragaman Hayati
Pertanian seluler memberikan alternatif dan bisa menjadi salah satu kemajuan teknologi pangan paling menjanjikan di abad ini. Kadang-kadang disebut makanan yang ditanam di laboratorium. Prosesnya adalah dengan mengembangkan produk hewani dari sel hewan asli dan bukan hewan sebenarnya.
Jika membuat daging atau susu dari sel hewan terdengar aneh atau menjijikkan bagi banyak orang tetapi mari kita lihat dalam perspektif yang lebih jauh. Bayangkan pabrik pembuatan bir atau keju: fasilitas steril yang diisi dengan tong logam lalu memproduksi bir atau keju dalam jumlah besar dan menggunakan berbagai teknologi untuk mencampur, memfermentasi, membersihkan, dan memantau prosesnya. Sekarang tukarlah gandum atau susu dengan sel hewan dan fasilitas yang sama ini menjadi sebuah produsen produk susu atau daging yang berkelanjutan dan efisien.
Kekejaman terhadap hewan akan dihilangkan dan tanpa perlu sapi berkeliaran di ladang sehingga peternakan akan menggunakan ruang yang jauh lebih sedikit untuk menghasilkan daging atau susu dalam jumlah yang sama.
Ruang budidaya di Upside Foods yang berbasis di California yang menggunakan pertanian seluler untuk menghasilkan daging. Teknologi lain yang muncul termasuk produksi protein mikroba di mana bakteri menggunakan energi yang berasal dari panel surya untuk mengubah karbon dioksida dan nitrogen serta nutrisi lain menjadi karbohidrat dan protein. Ini bisa menghasilkan protein sebanyak kedelai tetapi hanya memerlukan 7 persen dari area perkebunan untuk menghasilkan produksi yang sama. Hasil ini kemudian dapat digunakan sebagai aditif makanan protein (penggunaan utama kedelai) dan pakan ternak (termasuk untuk hewan peliharaan).
Bahkan dimungkinkan untuk menghasilkan gula dan karbohidrat menggunakan desalinasi atau dengan mengekstraksi CO₂ dari atmosfer dan semuanya tanpa pernah melewati tumbuhan atau hewan hidup. Gula yang dihasilkan secara kimiawi sama dengan gula yang berasal dari tumbuhan tetapi dapat diproduksi dengan area yang juah lebih kecil dari area yang dibutuhkan oleh tanaman konvensional.
Pemanfaatan Lahan Sisa Perternakan
Teknologi baru ini dapat berdampak besar bahkan jika permintaan terus meningkat. Meskipun penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa konsumsi daging global akan berlipat ganda namun penelitian tersebut menunjukkan bahwa setidaknya 80 persen lahan pertanian dapat dikembalikan ke alam untuk digunakan untuk hal lain.
Lahan itu mungkin menjadi cagar alam atau digunakan untuk menyimpan emisi karbon misalnya di hutan atau tanah rawa gambut yang tergenang air seperti di Kalimantan. Itu dapat digunakan untuk menghasilkan bahan bangunan yang berkelanjutan atau hanya untuk menghasilkan lebih banyak tanaman yang dapat dimakan manusia adalah sedikit di antara kegunaan lainnya.
Hilang juga sistem peternakan industri yang menghasilkan kotoran, tulang, darah, isi perut, antibiotik dan hormon pertumbuhan dalam jumlah besar. Setelah itu peternakan hewan yang tersisa dapat dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi.
Jika kita mendapatkan sebagian besar protein dan karbohidrat kita melalui teknologi baru ini maka perternakan yang penuh belas kasih dan ramah satwa liar semacam ini dapat ditingkatkan. Karena akan ada lebih sedikit tekanan pada lahan dan kebutuhan akan bahan kimia dan pestisida akan berkurang secara drastis serta produksi tanaman dapat menjadi lebih ramah terhadap satwa liar. Adopsi global pertanian organik tidak dapat dilakukan saat ini karena kurang produktif dan memerlukan lahan yang cukup banyak. Transisi ini harus dibarengi dengan transisi penuh menuju energi terbarukan karena teknologi pengan yang baru ini membutuhkan banyak daya.
Mengubah teknologi pangan ini menjadi sistem produksi pasar massal tentu saja akan rumit. Tetapi kegagalan untuk melakukannya kemungkinan besar akan mengarah pada peningkatan intensitas pertanian, meningkatnya jumlah hewan ternak dan bahkan lebih banyak kehilangan sumber daya alam.
Menghindari nasib yang tragis atau bencana kemanusiaan seperti ini dan mencapai 80 persen pengurangan lahan pertanian, tentu saja akan membutuhkan banyak kemauan politik dari para pemimpin negara dan penerimaan terhadap budaya makan berbentuk makanan baru yang dihasilkan di laboratorium. Ini akan membutuhkan insentif ekonomi dan politik seperti investasi, subsidi dan keringanan pajak untuk mendorong teknologi ini kearah yang diinginkan dan disinsentif seperti peningkatan pajak dan penghapusan subsidi untuk teknologi berbahaya. Kecuali ini terjadi maka target keanekaragaman hayati akan terus meleset, COP demi COP.