Di tengah kota metropolitan Jakarta yang dipadati bangunan tinggi dan kawasan elit, ternyata masih ada rumah Betawi asli, lho. Rumah itu diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1940-an di Kawasan Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Tim Acarapi berkesempatan mengunjungi rumah tersebut. Untuk sampai ke rumah itu, kami melewati bangunan-bangunan tinggi, seperti Apartemen Casablanca dan Mal Kota Kasablanka. Tak jauh dari situ pun ada TPU Menteng Pulo yang luas.
Kawasan di Jakarta Selatan ini memang terbilang elite, namun siapa sangka masih ada warga yang bertahan dengan rumah model lama khas Betawi. Meski sudah puluhan tahun berdiri, rumah ini tidak ikut terbawa arus modernisasi.
Kami menyusuri Jalan Menteng Atas Selatan I RT 06/RW 12. Jalanan tersebut cukup sempit, hanya muat dilalui dua mobil sekaligus secara berdempetan.
Satu sisi jalan merupakan deretan permukiman warga, bengkel, hingga warung makan. Sementara sisi lain adalah tembok panjang yang dilukis mural serta taman kecil sepanjang jalan. Lalu, tampak ada Apartemen Taman Rasuna yang menjulang tinggi di belakang tembok tersebut.
Kami pun menemukan rumah Betawi yang posisinya hook, bersebelahan dengan gapura yang dicat merah putih. Sekilas wujud rumah itu tak terlalu terlihat karena terhalang bangunan seng sebuah usaha bengkel.
Fasad rumah Betawi itu pun gelap karena kanopi depan rumahnya menghalangi sinar matahari. Bangunan rumah hanya dikelilingi dengan pagar besi tipis yang sudah berkarat. Dari luar, satu-satunya wujud yang terlihat khas betawi adalah sebuah jendela krepyak berwarna hijau muda.
Setelah kami masuk melalui pagar, mulai terlihat fasad rumah tempo dulu itu. Bagian depan rumah merupakan teras yang dilengkapi sofa merah dan coklat, serta ada meja yang dialas kain merah. Sebagian teras ini pun terhalang tirai bambu.
Dinding rumah berupa papan kayu yang dicat putih. Terpajang foto-foto Ka’bah dan kaligrafi Arab pada tembok. Lantainya terbuat dari ubin model lama, seakan terbuat dari material tanah liat.
Menariknya, plafon teras terbuat dari anyaman bambu dengan kombinasi warna coklat muda dan coklat gelap. Helaian bambu itu dianyam membentuk motif segi empat.
Tentunya yang paling khas adalah jendela dan pintu model krepyak. Kebetulan warna kusen pintu dan jendela ini berwarna hijau muda, sehingga identik dengan warna rumah adat Betawi.
Memasuki rumah, suasana terasa seperti kembali ke masa lalu. Tercium aroma kayu yang khas dari papan kayu maupun anyaman bambu.
Kami melihat ruang tamu yang cukup luas, namun dipadati beragam perabotan kayu yang sudah tua. Ruangan ini diisi dengan tempat tidur, meja makan, lemari pakaian, lemari cangkir, dan sofa.
Salah satu ciri khas rumah Betawi yang terlihat di ruangan ini adalah ukiran pada tiang dan ventilasi pintu. Tiang dari kayu nangka itu diukir tali air vertikal. Sementara itu, lubang ventilasi pintu kamar berbentuk seperti bunga.
Sudah berdiri sejak lama, bangunan rumah terlihat sangat rapuh. Plafon yang terbuat dari anyaman bambu rusak dengan sejumlah lubang besar. Dinding anyaman bambunya yang semula dicat warna putih pun sudah mulai pudar. Lalu, dinding dan tiang yang berwarna hijau, catnya sudah mengelupas.
Tak semuanya kayu, bagian bawah dinding menggunakan batu bata yang dicat putih untuk menahan genangan air hujan. Masih banyak bagian rumah yang asli dari zaman dulu, tetapi terdapat dinding dan jendela yang rusak, sehingga ditambal menggunakan triplek.
Rumah ini kerap mengalami kebocoran ketika hujan, bahkan terlihat bekas aliran air dan lembap pada dinding. Satu sisi dinding yang ditutup triplek pun sudah mulai melengkung seakan bakal copot.
Bagian dalam rumah, jendelanya dicat biru. Tak ada gorden, pintu dan jendela rumah ditutup menggunakan kain bermotif yang digantung pada tali rafia.
Rumah ini memiliki tiga kamar tidur. Lalu, dapur dan kamar mandi ada di bagian belakang rumah. Kamar mandi dibangun terpisah dari kamar khusus WC. Bagian belakang rumah ini tertutup dengan dinding terbuat dari seng, papan, dan fiber.
Rumah Betawi yang masih orisinal ini tampak kontras dengan bangunan sekitar. Dari bahan bangunannya saja, yang lain sudah membangun tembok dari batu bata. Belum lagi terdapat banyak bangunan tinggi di kawasan elite ini.
Pada kesempatan itu, kami menemui pemilik rumah bernama Salamah (87) yang merupakan orang Betawi asli.. Saat itu, ia tengah berbaring di tempat tidur di ruang tamu lantaran sedang sakit.
Meskipun bangunan sekitar sudah modern, ia mengaku tidak menghiraukan dan tak berniat merenovasi rumahnya. Ia sudah nyaman dengan lokasi dan bentuk rumahnya yang sekarang.
“Betawi asli jadi saya yang tinggalin, jadi keponakan di sini, ini juga keponakan, keluarga banyak di sini kalau Idul Fitri,” ujar Salamah di Jl. Menteng Atas Selatan I.
Ia tetap tinggal di sana karena ingin dekat dengan keluarga yang tinggal di kawasan tersebut. Bangunannya pun tidak ingin diubah karena ingin mengenang warisan dari orang tua.
“Nggak mau (direnovasi). (Udah) nggak ada emak, nggak ada bapak. Ibu nggak enak, sedih soalnya,” ungkapnya.
Sementara itu, keponakan Salamah bernama Kamil (54) mengungkapkan rumah ini memang masih banyak yang asli belum diubah, mulai dari tiang, dinding, hingga jendela. Ia mengatakan rumah betawi itu memiliki luas bangunan 150 m2, sedangkan luas lahannya 330m2.
“Karena zaman dulu model rumahnya seperti ini, yaudah dibangunnya modelnya begini. Istilahnya nggak ngambil bahwa ini rumah adat Betawi, cuman karena memang orang Betawi, kebetulan model-model rumahnya begini,” tutur Kamil.
Tak hanya rumah, sisa lahan dibangun lima kontrakan yang masing-masing berukuran sekitar 3×5 meter persegi. Kontrakan itu disewakan menjadi tempat parkir mobil dan bengkel. Kamil pun mengatakan kontrakan tersebut menjadi sumber penghasilan Salamah.
Desain rumah tetangganya pada waktu itu memang serupa dengan rumahnya yang sekarang. Namun, kin banyak yang sudah melakukan renovasi, berbeda dengan Salamah yang tetap mempertahankan desain asli rumahnya.
“Nggak dirobah, udah begini aja, cuma pindah tempat. Di sono (tanah) punya abang, jadi kita di sini udah dibayar (dibeli oleh ayah), pindah sini aja. Belum ada jalanan, masih kampung,” jelasnya.
Tak banyak yang berubah dari bentuk rumah Betawi itu. Ia melapisi sebagian dinding dengan triplek dan memugar kamar mandi.
Suatu ketika Salamah pernah ditawarkan untuk renovasi rumah, tetapi ia menolaknya. Ia mengatakan dirinya sudah tak memiliki orang tua, sehingga tidak punya alasan untuk renovasi buat menyenangkan mereka.
Lalu, ia menyebut rumah tersebut merupakan pemberian dari orang tuanya. Mempertahankan bentuk rumah menjadi caranya mengenang mereka.