Skip to content

Sejarah Berdirinya Provinsi Sumatera Barat

Semua orang di Indonesia mengetahui bahwa nama Sumatera Barat merupakan euphemisme dari alam Minangkabau. Suku mayoritas di Sumatera Barat yang bangga akan adat istiadatnya, berpikiran maju, pemeluk islam yang taat dengan sistem sosial yang berbeda dengan daerah lain.

Provinsi Sumatera Barat ini memiliki posisi yang unik dan penting terutama dalam terbentuknya Kebangsaan Indonesia, karena itu tidaklah salah menyebut bahwa Sumatera Barat adalah provinsi yang paling berpengaruh di Sumatera. Orang minang yang mengisi 90 persen dari penduduk Sumatera Barat memberikan kontribusi yang tidak sedikit pada pembentukan semangat kebangsaan Indonesia dan kepemimpinan semasa kemerdekaan Indonesia, terima kasih kepada iklim intelektualitas dan kesadaran sosial masyarakat Minang ini.

Politik Devide et Impera yang sukses dilakukan Belanda pada daerah lain tidak pernah berhasil dilaksanakan di Sumatera Barat atau di tanah Minangkabau ini. Belanda pernah menawarkan otonomi khusus bagi Sumatera Barat tetapi di tolak oleh masyarakat Minang.

Mengapa Sumatera Barat

Tidaklah jelas alasan dari Pemerintah Indonesia menamakan salah satu provinsi yang terletak di pulau Sumatera sebagai Sumatera Barat. Meskipun hanya bersifat administratif, penamaan kebanyakan provinsi di pulau Sumatera ini agak membingungkan.

Provinsi Sumatera Utara yang terletak diujung utara Sumatera termasuk Medan, wilayah Batak dan Nias tetapi tidak termasuk wilayah paling utara pulau Sumatera yaitu Aceh. Hal yang sama terjadi dengan Sumatera Selatan tetapi tidak termasuk wilayah paling selatan Sumatera yaitu Lampung. Tidak ada provinsi Sumatera Timur, walau Riau dan Jambi bisa dikategorikan terletak diwilayah timur Sumatera. Dan Sumatera Barat sebenar mulai dari agak keselatan Sumatera hingga bagian timur Sumatera Utara.

Dua ratus tahun yang lalu, William Marsden menggambarkan letak pulau Sumatera yang membingungkan. Kebingungan yang mendasar adalah orientasi dari pulau Sumatera itu sendiri. Karena posisi Sumatera membentuk sudut persis 45 derajat dengan sumbu tegak, ahli geografi tidak pernah bisa menetapkan apakah pulau Sumatera membentang dari Timur ke Barat atau Utara ke Selatan. Maka pantai yang bersentuhan dengan Samudera Hindia kadang di sebut pantai selatan dan kadang disebut pantai barat Sumatera.

Pada tahun 1950 diadakan pembahasan ulang mengenai ketepatan letak pulau Sumatera dan ditetapkan bahwa pulau Sumatera membentang dari Utara ke Selatan. Selain itu juga karena pemerintah pusat tidak menginginkan adanya kesetiaan terhadap rasa kedaerahan maka dibuatlah pembagian propinsi berdasarkan orientasi ini, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat dan lain-lain. Tetapi Aceh menolak bersatu dengan Batak dalam wilayah Sumatera Utara dan membujuk pemerintah pusat untuk memberikan provinsi khusus bagi mereka.

Sekilas kerajaan di Sumatera Barat

Marsden dalam History of Sumatera yang diterbitkan tahun 1811, menyebutkan bahwa Sultan Turki dan Kaisar China menyapa Raja Minangkabau ini sebagai “Saudara” dan cap kenegaraan dari kedua Kekaisaran ini selalu menyertai cap kerajaan Minangkabau di kiri kanannya pada setiap surat yang dikeluarkan.

Marsden menggambarkan Raja-raja Minangkabau di Sumatera Barat – pada abad 18 tiga orang raja selalu memerintah pada saat yang bersamaan – mengalami masa kejayaan dengan gelar kemuliaan dari raja sebagai wakil Tuhan, Sultan dari sungai emas dan Tuan bagi air dan awan. Raja juga memiliki berbagai aset yang istimewa, seperti tambang emas, talisman yang indah termasuk “sebuah kerbau yang tanduknya terpisah selebar 12 kaki” dan “bunga champa biru yang hanya ada di Minangkabau karena di tempat lain bunga itu berwarna kuning”.

Pertambangan emas yang ada di Minangkabau membuat Sumatera khususnya daerah Sumatera Barat terkenal dengan sebutannya “suvarna-dwipa”. Tambang emas dan ladalah yang membuat Portugis pertama kali datang ke Sumatera Barat dan kemudian Belanda, tetapi hanya sampai di daerah pantai Sumatera Barat dan tidak bisa menaklukkan dataran tinggi Minangkabau.

Pertambangan Emas di Salido, Sumatera Barat, Salomon Muller, 1846

Sebuah batu bertuliskan huruf Hindi yang berasal dari peradaban Hindu-Budha dari kerajaan Sriwijaya dan Melayu menceritakan bahwa “Sultan Sungai Emas” mengekspor emasnya kehilir melalui sungai Indragiri dan Siak yang mengalir dari tanah tinggi Sumatera Barat ke pantai barat Sumatera. Disebut pula bahwa orang Minang yang pertama kali menempati jantung kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang. Kerajaan Minangkabau yang kaya dengan emas merupakan pendukung dari Kerajaan Sriwijaya abad ke 7 pada masa kejayaan agama Budha.

Cetak Biru Raffles terhadap Minang

Perang Waterloo membuat Inggris harus menyerahkan provinsi Jawa ke Belanda tahun 1817, pada waktu itu Nusantara masih dibagi menjadi 4 provinsi, yaitu: Provinsi Sumatera Barat, Malaka, Maluku dan Jawa. Dari Jawa, Raffles berangkat menuju Sumatera dan membangun rumah di Bengkulu sekitar 200 kilometer dari Kota Padang. Dia mulai merencanakan membangun kembali kekuasaannya.

Yang membawa Raffles menjelajahi Sumatera Barat ini bukanlah keingintahuan, bukan pula penemuan geografik atau emas, tetapi motif politik praktis. Raffles melihat bahwa pengaruh kerajaan Minangkabau masih diakui diseluruh Sumatera dan dengan dukungan dari Inggris, Raffles percaya bahwa Kerajaan Minangkabau ini dapat kembali berkuasa dan menjadi cikal bakal serikat dagang baru dengan Inggris serta mempersatukan Kerajaan Minangkabau dan “Negara” Melayu.

Raffles ingin suku Minang di Sumatera Barat ini kembali memerintah Sumatera. Raffles ingin menggunakan Kerajaan Minangkabau sebagai kekuatan yang dapat digunakan oleh Inggris guna menahan pengaruh Belanda.

Kincir Air untuk Irigasi seperti yang ditemui Raffles dalam perjalanan pertamanya ke Sumatera Barat tahun 1817

Raffles datang dengan keinginan menyelusuri misteri dataran tinggi Sumatera Barat. Raflles sangat terkesan dengan garis darah keturunan Minangkabau seperti yang di ceritakan oleh Marsden. Perhatian Raffles juga tertarik pada kesamaan Minangkabau dengan apa yang disebutnya “bangsa Malayu”. Marsden sudah memperkirakan kaitan antara Minang dan pesisir Malaysia yaitu bahasa Minang hampir serupa dengan Malayu, sama-sama penganut Islam yang taat dan banyak pemimpin Malayu menelusuri garis keturunannya sebagai orang Minang.

Waktu sangat singkat dan Belanda mungkin akan datang dalam waktu dekat. Raffles segera berlayar ke Padang dan langsung menuju Bukit Tinggi, jantung wilayah Minang di Sumatera Barat. Raffles melakukan perjanjian dengan penguasa Minang saat itu. Pagaruyung menyetujui perjanjian tersebut dengan syarat bahwa kekuasaan Minangkabau tetap ada di wilayah Sumatera.

Gerakan Paderi di Sumatera Barat

Pada tahun 1818, Rafless kembali lagi ke Sumatera Barat dan pulang dengan kekecewaan karena tidak ada istana. Tuan Gadis sudah digantikan, kerajaannya sudah berganti perkebunan. Terjadi perang antara kaum adat dan ulama yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Raffles menamakannya Padri (dari kata portugis misionaris padre) atau orang putih.

Setelah kembali ke Sumatera Barat dari menunaikan haji, Imam Bonjol dan beberapa ulama lainnya bermaksud melenyapkan adat yang tidak sesuai dengan agama Islam seperti adu ayam, mengunyah sirih, merokok dan minum tuak, dengan kekerasan bila terpaksa. Program ambisius itu ditentang oleh orang Minang, karena walau penganut Islam, mereka sangat bangga dengan adatnya. Hampir seluruh anggota kerajaan Pagaruyung terbunuh pada tahun 1815 hingga 1818.

Setahun kemudian Raffles mempunyai blue print politik baru dengan pulau yang dekat Sumatera yaitu “Singapura”. Belanda akhirnya datang ke Sumatera Barat atas undangan kaum adat untuk memerangi kaum paderi. Setelah 17 tahun, akhirnya Imam Bonjol tertangkap dan hidup hingga usia 92 tahun di pembuangan.

Ditanah kelahirannya, Paderi dari Islam Ortodoks ini bergabung dengan masyarakat Minang yang anti penjajahan menjadi karakter “Orang Minang” hingga sekarang. Sejak Marsden datang ke Sumatera Barat, Minangkabau telah dikenal sebagai Pusat resmi agama Islam di Timur kedua setelah Mekkah dan menjadi tempat belajar agama Islam.

Masa awal kemerdekaan Indonesia

Pada tahun 1920 lahir pergerakan Muhammadiyah di Sumatera Barat yang bergerak di bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial. Muhammadiyah mendapat dukungan dari orang Minang hingga berkembang sangat pesat menjadi kekuatan besar. Dengan semangat menentang penjajahan, Islam ortodoks dan berpendidikan tinggi yang melekat pada orang Minang membuat kepemimpinan orang Minang dalam kemerdekaan Indonesia diterima.

Tiga dari empat orang yang biasa disebut pelopor kemerdekaan Indonesia yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Amir Syarifuddin adalah orang Minang. Belanda malah menyebutkan Pemerintah Indonesia yang bermarkas di Yogyakarta sebagai Pemerintahan Minangkabau dan ketika Yogyakarta diduduki Belanda, Kota Bukit Tinggi di Sumatera Barat menjadi Ibu kota sementara Republik Indonesia yang gagal diduduki Belanda sampai tahun 1948.

Seperti yang disebut diatas apabila Politik Devide et Impera berhasil diterapkan di Sumatera Barat sudah pasti akan mematahkan perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Akhirnya perjuangan tanpa lelah Hatta di Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 berhasil mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari Belanda dan dunia internasional.

Referensi:

  • John Keay, Indonesia from Sabang to Merauke, Boxtree-London, 1995:79-94.Bastin, John, Inggris di Sumatera Barat 1682-1825, Kuala Lumpur, 1965
  • Marsden, William, History of Sumatera, London 1783
  • Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, halaman 283, gambar 25, 1981, Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Harapan.
  • Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang, 1985, Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Harapan.