Revolusi Industri dimulai di Inggris pada akhir abad ke 18 dan selama sebagian besar abad ke 19 Inggris menjadi kekuatan industri yang dominan di dunia. Namun pada tahun 1880 Amerika Serikat telah berhasil mendahului Inggris dan kemudian oleh Jerman pada pergantian abad. Dalam kedua kasus tersebut, para pendatang baru sangat diuntungkan dengan menyerap dan menerapkan teknologi Inggris seperti mesin uap dan proses Bessemer untuk pembuatan baja. Pendatang baru awalnya tumbuh dengan memakai teknologi yang lebih baik dan meningkatkan kapasitas produksi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pertimbangkan apa yang terjadi pada rel kereta api. Pada tahun 1830, Amerika Serikat memiliki hampir 40 mil rel kereta api tetapi jaringan infrastruktur rel kereta api ini telah melonjak menjadi 28.920 mil pada tahun 1860 dan lebih jauh lagi menjadi 163.562 mil pada tahun 1890. Ini lebih panjang dari gabungan seluruh rel kereta api didunia menurut Biro Sensus Amerika Serikat.
Sebelum akhir abad ke 19, Amerika Serikat sendiri telah berada di ujung tombak teknologi. Kantor Paten Amerika Serikat mengeluarkan Paten No. 174465 untuk Alexander Graham Bell pada 7 Maret 1876. Dan dalam empat tahun setelah paten tersebut ada 60.000 telepon di Amerika dan 20 tahun kemudian ada enam juta.
Dalam setengah abad berikutnya, Amerika Serikat menemukan teknologi mulai dari pesawat hingga radio dan kemudian memproduksinya secara massal. Jerman akan melakukan hal yang sama dengan produk seperti mobil dan bahan kimia. Penemuan teknologi sangat penting untuk mengubah Inggris, Jerman dan Amerika Serikat menjadi kekuatan industri tetapi faktor kunci yang paling penting dan jarang sekali dibahas untuk mencapai adidaya ekonomi dengan produksi massal skala besar adalah penggunaan tenaga kerja murah dan dapat digantikan kapan saja (disposable cheap labor).
Jumlah populasi yang mengalami urbanisasi di Inggris dan Wales melonjak dari 20 persen pada tahun 1800 menjadi 62 persen pada tahun 1890 ketika orang-orang dari pedesaan bermigrasi ke kota-kota industri yang dipicu oleh penghapusan perbudakan pada awal 1800 tetapi masih diperbolehkan diwilayah Inggris lainnya seperti India, Asia Timur dan Sri Lanka. Didaerah ini Inggris berhasil meraup triliunan dollar dan jutaan tenaga kerja gratis sebagai modal untuk membangun negara mereka dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan militer global saat itu.
Amerika Serikat juga mengalami gelombang demi gelombang migran yang mendorong populasinya dari hanya sepuluh juta pada tahun 1820 menjadi 152 juta pada tahun 1950 menurut data yang dikumpulkan pada tahun 2001 oleh OECD dan pada antara tahun 1800 – 1825 terdapat sekitar 200 ribu budak sebagai tenaga kerja dimana rata-rata 6 – 54 persen rumah tangga di Amerika Serikat mempekerjakan budak. Jumlah tersebut bervariasi tergantung lokasi.
Dalam kisah fantasi populer para migran ini menuju ke Amerika Serikat untuk menetap di pertanian terpencil atau berpartisipasi dalam Demam Emas. Kenyataannya para pendatang biasanya diserap oleh sektor industri yang sedang booming. Pada pergantian abad sekitar 80% dari lima juta penduduk New York adalah kelahiran asing atau anak-anak migran.
Banyak dari mereka terjepit di daerah kumuh di Lower East Side dengan sebanyak 25 orang berbagi satu kamar tanpa jendela dan tidur bergiliran. Sebagian besar indikator menunjukkan bahwa kondisi kehidupan jauh lebih buruk daripada di daerah kumuh yang berada di negara terbelakang atau berkembang saat ini.
Bahkan ketika Barat sedang melakukan industrialisasi, kenyataan yang sangat berbeda terjadi untuk Cina dan India. Kedua raksasa ini telah menjadi rumah bagi sektor manufaktur berbasis pengerajin besar di zaman pra-modern dan telah mengekspor produk manufaktur seperti tekstil dan porselen selama ribuan tahun. Namun keduanya sulit untuk beradaptasi dengan dunia yang terus berubah baik dari sisi teknologi maupun mengadopsi sistem perbudakan seperti negara barat.
Ketika Kekaisaran Mughal di India runtuh pada awal abad ke 18, tampaknya Marathas akan menggantikannya untuk sementara waktu. Ketika usaha Maratha untuk merebut kekuasaan tersandung maka India larut dalam kekacauan dengan banyak kelompok pribumi dan negara asing bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Kondisi politik yang tidak pasti sangat mempengaruhi iklim investasi dan menyebabkan banyak bagian India mengalami de-industrialisasi. Namun penegakan kembali ketertiban di bawah pemerintahan kolonial Inggris tidak membantu bahkan membuat keadaan bertambah parah akibat pemiskinan sistematis yang dilakukan oleh Inggris.
Revolusi Industri telah lepas landas dan barang-barang yang diproduksi oleh pabrik-pabrik Inggris membanjiri India mulai awal abad ke 19 semakin merusak sektor berbasis pengerajin lama terutama dengan pengenaan pajak tinggi untuk produk dalam negeri oleh Inggris yang membuat produk Inggris menjadi lebih murah. Perhatikan bahwa ini terjadi meskipun tenaga kerja India jauh lebih murah daripada di Inggris. Pembangunan infrastruktur baru seperti rel kereta api juga didesain untuk membuka akses barang Inggris untuk masuk lebih jauh ke pedalaman. Oleh karena itu, deindustrialisasi India adalah ilustrasi yang baik bahwa baik tenaga kerja murah maupun infrastruktur yang lebih baik tidak berguna kecuali ekosistem bisnis dibuat untuk memajukan industri dalam negeri dan bukan untuk memudahkan penetrasi barang impor.
Jepang adalah negara Asia pertama yang mengalami industrialisasi dan mulai tahun 1890 output meningkat dengan sangat pesat berkat etos kerja yang tinggi yang berhasil dicapai tanpa bantuan budak. Meskipun kehancuran Perang Dunia II namun Jepang berhasil membangun sektor industri yang kompetitif pada tahun 1950 berkat penyerapan teknologi.
Namun penggunaan tenaga kerja murah merupakan komponen kunci dari semua keberhasilan negara membangun kedigdayaan mereka. Baru-baru ini pada tahun 1980 ketika Jepang sudah dianggap sebagai negara maju tetapi biaya tenaga kerja per unit dalam nominal dolar AS hampir setengah dari tingkat hari ini.
Peningkatan tajam biaya input tenaga kerja di Jepang dalam tiga dekade terakhir terutama disebabkan oleh nilai tukar dan bukan karena kenaikan riil upah tenaga kerja mereka. Mata uang terapresiasi dari 250 – 240 yen per dolar AS pada tahun 1985 menjadi sedikit di atas 120 per dolar pada akhir tahun 1987 dan selanjutnya menjadi 84 per dolar pada tahun 1995. Yen akan melemah ke kisaran 100 – 150 per dolar untuk selanjutnya. Satu setengah dekade sebelum yen hanya berada dikisaran 80-85 per dolar.
Pergerakan naik mata uang yen ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan penurunan 0,5% per tahun upah tenaga kerja per unit dalam mata uang lokal yang telah dipertahankan manufaktur Jepang selama tiga dekade terakhir. Hal ini menggambarkan bagaimana nilai tukar merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika berhadapan dengan daya saing tenaga kerja murah internasional. Tentu saja mungkin untuk bersaing dalam desain dan kualitas tetapi mata uang yang kuat membuat masalah menjadi sulit kecuali bila bisa digantikan dengan robot
Nilai tukar merupakan faktor penting dalam kebangkitan kembali China dan India di panggung dunia. Yuan terdepresiasi secara signifikan antara tahun 1990 dan 1993 sebelum rezim mata uang disatukan pada tanggal 1 Januari 1994 dan nilai tukar terdepresiasi sebesar 50 persen dari 5,8 yuan per dolar menjadi 8,7 yuan per dolar.
Ada banyak perdebatan akademik tentang dampak pasti dari langkah ini tetapi sulit untuk menyangkal bahwa upah China – yang sudah rendah menurut standar internasional, menjadi lebih kompetitif. Menurut data resmi rata-rata upah tahunan di China adalah $637 pada tahun 1995. Hal ini dapat menjadi ancaman bagi dominasi kekuatan ekonomi Amerika Serikat terutama ketika China secara cepat berhasil menyusul pencapaian teknologi mereka pada berbagai bidang.
Rupee India juga mengalami devaluasi tajam setelah krisis eksternal tahun 1990 – 91. Nilai tukar terdepresiasi dalam beberapa langkah dari sekitar 18 rupee per dolar AS sebelum krisis menjadi 31,4 per dolar pada tahun 1993. Bukan kebetulan bahwa negara maju mulai mengalih dayakan pekerja disektor teknologi mereka dengan memakai pekerja kerah putih India yang sangat murah di tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 1994 lulusan MBA baru dari salah satu sekolah bisnis top India ditawari gaji bulanan awal sebesar 35.000 rupee oleh sebuah perusahaan konsultan internasional. Ini setara dengan kurang dari $ 13.375 per tahun dengan nilai tukar yang berlaku tetapi gaji tersebut dianggap sangat tinggi sehingga dimuat di halaman depan sejumlah surat kabar. Itu lebih dari gaji pegawai negeri sipil senior setelah puluhan tahun bekerja dimana gaji PNS dinegara berkembang selalu harus lebih tinggi dari gaji karyawan swasta. Pada saat itu, seorang lulusan dari perguruan tinggi teknik yang bagus dapat dipekerjakan dengan gaji kurang dari 4.000 rupee per bulan (kurang dari $ 1.500 per tahun).
Perhatikan bahwa dalam kasus India dan China, efektivitas biaya tenaga kerja murah hanya relevan karena reformasi telah menciptakan kondisi di mana tenaga kerja dapat dikerahkan dalam rantai pasokan global. Apalagi tenaga kerjanya yang murah dan cukup terdidik sehingga menyerap teknologi modern.
Pada 1990, Cina memiliki tingkat literasi yang mencapai 78 persen. Tingkat melek huruf di India masih rendah yaitu 52 persen karena fokus yang tidak memadai pada pendidikan dasar tetapi investasi di sekolah-sekolah elit telah menciptakan kelas menengah yang terdidik. Perbedaan dalam anugerah tenaga kerja awal mereka sebagian menjelaskan kesuksesan China selanjutnya dalam manufaktur massal dibandingkan dengan preferensi India untuk mengekspor jasa kerah putih.